Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Jumat, 03 Februari 2012

(Karya Audio Visual) Film sebagai Karya Seni

“Aku menyesal selama ini hanya belajar teknis hingga aku kurang bisa menyusun konsep untuk menciptakan karya (baca. karya audio visual)”. Statement dari salah satu teman saya.

Saya dan teman-teman saya juga teman saya dia atas sama-sama masih belajar di ranah audio visual ini. Ada sesuatu yang tergerak untuk saya deskripsikan, mungkin juga berusaha berpikir analitik untuk menanggapi statement salah satu teman belajar saya di atas. Teman saya tersebut, termasuk saya sempat terjebak dalam diskusi pembahasan “gaya” film. Sebagai sutradara harus mempunyai gaya dalam mentransformasikan teks ke dalam visual. Mungkin bagi saya, diksi “gaya” dalam film ini sedikit rumit.

Saya teringat kata-kata sesorang yang inspiratif, “Sebuah kaleng dapat dikemas oleh orang yang berbeda dengan teknik artistik yang menjadikannya sama-sama indah, tapi menilik siapa orang tersebut yang akan berbeda menyelipkan sesuatu yang tak terlihat di dalam kaleng sehingga beratnya menjadi tak sama jika dilempar ke kepala kita.”


Dari kata-kata tersebut tiba-tiba saya melakukan perbandingan dikotomis film (karya audio visual lainnya. red) sebagai karya seni dengan karya seni pada media lain, satu contoh perbandingan saya ini adalah antara film dan sastra.

Secara garis besar film dan sastra merupakan karya seni, yang membedakan adalah media kreatif penyampaian sebuah ide yang muncul dari si pembuat karya melalui eksekusi teknis dari media tersebut. Sebagai karya seni yang berdiri secara utuh, film dan sastra sama-sama mempunyai dasar atau motif, yakni pasti tercipta dari ide, ada tema, serta terkandung pesan yang hendak disampaikan kepada penikmat karya.

Penjajaran atau juktaposisi dari kedua karya seni ini sama karena memiliki spirit dalam sebuah proses yang dikonstruksi agar dapat diperoleh hasil akhir karya yang apresiatif dan mampu berdiri. Proses mengkonstruksi karya ini tentu saja tidak lepas dari pengetahuan teknis untuk mengemasnya semenarik mungkin. (Dan hal ini yang nampak kita gali dari ruang akademis tempat kita belajar).

Jika menilik sastra terdapat unsur-unsur pembangun - yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas – Secara garis besar unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, jika itu sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai ketika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud misalnya peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa, gaya bahasa, pemilihan kata dan lain-lain. Dan jika ini sebuah film maka unsur intrinsik tersebut adalah unsur yang akan dijumpai jika kita menonton sebuah film, yakni unsur-unsur pembentuk film itu sendiri atau yang kita kenal sebagai unsur naratif dan sinematik.

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi konstruksi atau bangunan atau sistem orgamisme karya sastra. Secara sederhana yakni unsur yang berpengaruh terhadap karya sastra namun tidak ikut bagian di dalamnya. Unsur ini pengaruhnya sangat besar dan penting terhadap totalitas karya. Unsur ekstrinsik ini adalah keadaan subjektivitas individu pengarang, yang memiliki sikap, keyakinan, idealisme, pengetahuan, pandangan hidup, pengalaman yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang diciptakannya. Psikologi juga turut memberi andil sebagai unsur ekstrinsik, keadaan lingkungan pun juga mengambil bagian, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama. Dalam hemat saya cara membungkus karya dari segi teknis (unsur instrinsik dalam sastra) dapat dibangun dengan cara yang sama antara satu pembuat karya dan pembuat karya lainnya, namun hembusan napas karya yang diciptakan itu pasti akan berbeda karena pengaruh unsur diluar teknis (unsur ekstrinsik dalam sastra). Mungkin yang dimaksud dengan diksi “gaya” dalam film adalah unsur eksternal (ekstrinsik dalam sastra) ini.

Jika analisis saya itu tepat, untuk satu teman saya di atas, karena kita sama-sama telah memilih belajar pada ranah seni audio visual, dan kata yang tersisip dari tempat kita belajar adalah “seni”. Seharusnya kita memandang bahwa media audio visual adalah karya seni seperti sastra, lukisan, musik, tari, yang membedakan hanyalah medianya saja yakni konstruksi karya tersebut atau unsur-unsur internal di setiap media kreatif, selebihnya unsur eksternal tetaplah sama, karena menciptakan karya itu adalah sebuah representasi dari proses kehidupan yang kita jalani.

Yogyakarta, 13 januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;