Tweet |
Dalam diam Radam terus saja berdo'a, dalam diam Radam tak hentinya
mengerjakan hal penuh manfaat, dalam diam Radam menunggu kematiannya.
Dalam
diam Radam tak pernah tidur, menemui mimpi yang menawarkan dunia ilusi. Dalam
gerak, dan pasti itu malam hari, Radam memandangi surga dunianya, malaikat
penyemangat hidupnya, sedang terlelap menemui mimpi, Radam enggan kehilangan
sedikit waktu hanya untuk memandanginya. Memandangi wajah flanel yang
membungkus guci, itulah Reyfo, gadis surga dunianya, ia anggap gadisnya lembut
selembut flanel, tapi sangat rentan, terjatuh saja, akan pecah berkeping-keping
bagai guci. Tak ada siapa pun lagi di dunia ini, selain Reyfo, gadisnya berusia
6 tahun. Radam terlanjur tersingkir, jauh dan sangat jauh dari dunianya
sendiri. Dari dunia manusia.
Alangkah
indahnya ilusi, dunia yang sanggup membuainya, merasa dihargai, merasa berarti
dan merasa manusia, sebenarnya Radam ingin tidur lelap untuk terus bermimpi,
berharap tak terbangun lagi bahkan. Karena dunianya yang nyata tidak
menggangapnya manusia sebagai manusia. Radam terlanjur tersingkir, tak dianggap
ada, mayat hidup, manusia tak berguna.
Radam
merasa bersalah, tapi biarlah Tuhan saja yang berhak menghukumnya, bukan
orang-orang, bukan keluarganya, bukan pula agamanya. Meski tersingkir, tersebut
sebagai pendosa, terhakimi sebagai penerima karma, Radam hanya ingin melakukan
sesuatu untuk gadisnya, di sisa hidupnya ini.
*
Hampir
lima tahun sudah Radam
menelan vonis HIV AIDS yang akan segera menenggelamkannya di kubangan tanah
basah beserta peti mati dan taburan bunga yang hanya sekali terjadi, selepas
itu tak kan ada lagi orang datang menyambangi kuburannya, jijik, percuma untuk
pendosa sepertinya. Ia akan menyusul suaminya yang lima tahun lalu mati.
Petir
bertubi-tubi kala itu menyambar dan harus ia telan seketika berawal dari suami
yang mati. kenyataan tak henti-henti hingga kini, pahit, tak bersisa hingga tak
ada lagi ruang untuk tersayat. Semenjak
pacaran dengan Gusti, Radam adalah perempuan yang membebaskan jiwanya, Gusti
adalah laki-laki hebat, tak memandang Radam sebagai perempuan. Segalanya meraka
lakukan berdua, tak ada sekat, tak ada porsi, dan tak pedulikan posisi. Gusti
dan Radam sama-sama meneguk alkohol, Gusti dan Radam sama-sama penikmat Putau,
Gusti dan Radam sama-sama ber-tatto. Tapi Gusti dan Radam sama-sama tak suka
menikmati sex dari luar komitmen mereka. Mereka bahagia, saling menghargai, saling menepati janji hingga mereka memutuskan melegalkan
persenggamaannya di depan pastur lewat pemberkatan kudus.
Radam pun membiarkan sperma itu berhambur di rahimnya,
tumbuhlah
bakal Reyfo itu, hingga lahir, hingga menghirup udara dunia. Tapi setelah lima
belas bulan Reyfo mampu bergerak menjajaki babak baru dunia ini, Gusti mati. Tak tahu apa sebabnya, tiba-tiba begitu saja,
telah lama memang Gusti batuk-batuk, badan Gusti semakin kurus, kering.
Ternyata Gusti mati karena AIDS, sontak ia segera memeriksakan diri dan Reyfo.
Alhasil, Reyfo negatif tapi tidak dengan dirinya.
*
Kenyataan pahit dibabatnya seketika, sekaligus. Keluarga
Gusti menjauh, keluarganya sendiri pergi, orang-orang berhambur menghindar
diri, agama menghakimi. Kini hanya tersisa Reyfo, yang semakin tumbuh, semakin
butuh hidup sebagai manusia. Reyfo berumur enam tahun terlambat sekolah, Radam
tak punya nyali memasukkannya di sekolah taman kanak-kanak. Tapi umurnya yang
bertambah itu, keinginan Reyfo yang besar untuk bersekolah, mendesak Radam
untuk membangun nyali, harus memasukkannya ke sekolah dasar.
Nyali itu muncul berawal dari pagi hari ini, Radam melihat
Reyfo berdiri di jendela, memandang keluar, apa yang dilihat gadis kecil itu ia
tak tahu, ia masih sibuk merajut tali rafia menjadi tas, masih sibuk melukis
kaleng-kaleng bekas, sambil mengajari Reyfo mengeja kata. Suara desis air
mendidih dari cerek menghentikan aktifitas Radam. Segera diangkatnya cerek itu
dari atas kompor, menuangkan air mendidihnya ke dalam gelas yang telah terisi susu kental
sebelumnya. Lalu Radam menghampiri Reyfo, yang masih tegak berdiri memandang
luar jendela. Nada eja Reyfo yang tadi semakin pelan,
semakin menggantung melayang lantaran
memandangi
anak tetangga berangkat sekolah. Radam mendekat, jelas
terlihat pemandangan yang terbatas frame jendela adalah seorang anak seumuran
Reyfo, berdiri di depan rumahnya sambil menggendong tas dan menjinjing kotak
makan menunggu ibunya keluar rumah untuk mengantarnya belajar di sekolah,
pemandangan impian Reyfo.
“Pendaftaran sekolah masih dua bulan lagi sayang, kalau
waktunya tiba Rey pasti sekolah.”
Reyfo hanya mengangguk dan setuju mengikuti ajakan Radam
menuju meja makan.
*
Pasar ini jauh letaknya dari rumah, tapi Radam memilih
yang jauh, menghindar dari tetangganya yang pasti menuju pasar yang dekat.
Reyfo sangat gembira berada di toko pakaian, memilih-milih seragam SD, tas
sekolah serta sepatu, tak lupa mereka mampir ke toko buku, Reyfo segera
menyambar buku-buku cerita, membeli buku pelajaran serta buku tulis dan juga
gambar, pensil warna, krayon dan alat-alat sekolah yang lain. Radam terhanyut
dalam haru melihat gadis kecilnya senang bukan kepayang. Perasaan yang mungkin
tidak akan ia alami untuk beberapa tahun lagi, keberhasilan membuat Reyfo
tersenyum sumringah yang mungkin juga tak akan dilihatnya lagi beberapa tahun
ke depan, karena ia akan mati.
Hari
yang dinanti Reyfo tiba, Reyfo bangun pagi, menolak dimadikan Radam, ia
berbusana sendiri, mengenakan bando yang baru dibeli, cantik, Reyfo tampak
cantik. Radam merasa hidup hari ini, melihat gadisnya itu. Radam menyiapkan
susu dan sandwich, dikemasnya dalam
kotak makanan, untuk bekal Reyfo di sekolah, Radam membuatkan sandwich dengan sayur, keju, peti daging
sapi dan saus tomat dari resep rahasianya yang paling enak. Reyfo sangat
menyukai sandwich buatannya. Hanya
Reyfo yang bisa menghargainya, bersedia memakan masakannya, tidak dengan orang
lain.
Di
depan sekolah, Reyfo lari menuju gerbang, Radam begitu gembiranya.
”Besok
Bunda masakin sandwich peti ayam,
resep spongsbob sayang, ingat di sekolah jangan membuat jebakan plankton ya!!”
Radam berpesan.
Masih
di depan sekolah Radam terpaku, berdiri, melihat Reyfo menghilang dari
pandangannya. Radam tak ingin kehilangan sedikitpun kesempatan untuk menikmati
Reyfo, sangat rugi untuknya, sangat rugi untuk sisa nafasnya.
*
Malam
adalah kesempatan Radam memandang gadisnya diam terlelap sebelum mimpi itu akan
menggantikan,
Radam menemani Reyfo, Radam bercerita, Reyfo
bercerita pengalaman pertama di sekolah.
“
Bunda, tadi sama Ibu Guru disuruh cerita tentang Bunda tentang Ayah.”
“Terus
Rey ceritanya gimana?”
“Rey
bilang Bunda menjual kaleng lucu, digambar, bisa buat tempat pencil, bisa buat celengan, Bunda
juga bisa bikin tas dari tali rafia, jadi tas yang bagus, buat tempat hp, buat
kotak pensil, buat dompet. Tapi pas Ibu Guru Tanya Ayah, Rey bingung.”
Radam
membungkus malam dengan cerita Reyfo, ada sedikit kekhawatiran, tentang
orang-orang itu yang menanyakan Gusti.
Pagi
hari telepon berdering sebelum Reyfo
berangkat sekolah, panggilan dari kepala sekolah Rey. Radam tak enak badan hari
ini, ia mulai batuk-batuk, Radam tahu virus itu mulai menjalar merenggut
badannya dalam tahap yang lebih tinggi.
”Memangnya
sangat penting saya harus menemui Bapak?”
“Baiklah
Pak saya nanti mampir ke ruangan Bapak.”
Di
ruang kepala sekolah ini, Radam sesak,
bukan karena batuk-batuk tadi pagi, tapi karena Reyfo dikeluarkan dari sekolah,
alasan institusi itu basi, hanya karena Rey adalah anak penderita AIDS. Reyfo
membujuk Radam dengan jalan-jalan ke sebuah taman kota. Dibelikannya kue bolu,
dimanjakannya hari ini dengan semua permintaan Rey sembari berbisik.
“Besok
Rey sekolah di tempat baru ya!!”
Kain
flanel itu semakin terlihat lembut, tapi tidak di dalamnya, dapat pecah
berkeping-keping karena hanyalah sebuah boneka guci, itulah Rey. Radam berusaha
terus menambah flanel semakin tebal agar Reyfo terlindung, tak pecah jika
jatuh.
*
Sekolah
baru, impian Reyfo, rasa senang bertubi-tubi dan menumpuk di senyumnya, di depan gerbang
sekolah baru Reyfo mencium tangan Radam, rasa senang itu tumpah, Reyfo berlari
saking senangnya, tak hiraukan siapapun,
dan inilah yang dilihat Radam, sebuah rasa senang
yang tumpah, boneka gucinya pecah. Kain flanel itu tak mampu melindunginya,
lantaran benturan sepeda motor terlalu keras menyerang Rey.
“Anak
Ibu butuh darah, jika golongan darah Ibu sama segera saja untuk di tranfusi
Bu.”
Radam
terpaku tak segera menjawab permintaan dokter, harus kepada siapa ia meminta
darah, keluarga menjahuinya, orang-orang menghindar bubar, dan agama
menghakiminya, sedangkan persediaan bank darah habis.. Radam tak mampu berbuat
apa-apa hanya terdiam, memaku di sebelah ranjang Rey terbaring, boneka gucinya
benar-benar pecah meski kain flanel itu utuh lembut. Daya yang ia kumpulkan
untuk bertahan hidup hilang bersama kepingan pecahan guci, Radam yang tahu akan
mati kini menyaksikan kematian satu-satunya api yang menghidupkan tungku daya
di dalam jiwanya. Boneka guci dalam kain flanel, itulah Reyfo.
Yogyakarta,
4 Februari 2012
11:02
WIB
- Tokoh Reyfo terinspirasi dari cerita nyata seorang anak yang dikeluarkan SD setempat karena Ayahnya mengidap HIV AIDS di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar