Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Sabtu, 18 Februari 2012

KERAMIK DALAM FLANEL


Dalam diam Radam terus saja berdo'a, dalam diam Radam tak hentinya mengerjakan hal penuh manfaat, dalam diam Radam menunggu kematiannya.

 Dalam diam Radam tak pernah tidur, menemui mimpi yang menawarkan dunia ilusi. Dalam gerak, dan pasti itu malam hari, Radam memandangi surga dunianya, malaikat penyemangat hidupnya, sedang terlelap menemui mimpi, Radam enggan kehilangan sedikit waktu hanya untuk memandanginya. Memandangi wajah flanel yang membungkus guci, itulah Reyfo, gadis surga dunianya, ia anggap gadisnya lembut selembut flanel, tapi sangat rentan, terjatuh saja, akan pecah berkeping-keping bagai guci. Tak ada siapa pun lagi di dunia ini, selain Reyfo, gadisnya berusia 6 tahun. Radam terlanjur tersingkir, jauh dan sangat jauh dari dunianya sendiri. Dari dunia manusia.

Alangkah indahnya ilusi, dunia yang sanggup membuainya, merasa dihargai, merasa berarti dan merasa manusia, sebenarnya Radam ingin tidur lelap untuk terus bermimpi, berharap tak terbangun lagi bahkan. Karena dunianya yang nyata tidak menggangapnya manusia sebagai manusia. Radam terlanjur tersingkir, tak dianggap ada, mayat hidup, manusia tak berguna.

Radam merasa bersalah, tapi biarlah Tuhan saja yang berhak menghukumnya, bukan orang-orang, bukan keluarganya, bukan pula agamanya. Meski tersingkir, tersebut sebagai pendosa, terhakimi sebagai penerima karma, Radam hanya ingin melakukan sesuatu untuk gadisnya, di sisa hidupnya ini.
*

Hampir lima tahun sudah Radam menelan vonis HIV AIDS yang akan segera menenggelamkannya di kubangan tanah basah beserta peti mati dan taburan bunga yang hanya sekali terjadi, selepas itu tak kan ada lagi orang datang menyambangi kuburannya, jijik, percuma untuk pendosa sepertinya. Ia akan menyusul suaminya yang lima tahun lalu mati.

Petir bertubi-tubi kala itu menyambar dan harus ia telan seketika berawal dari suami yang mati. kenyataan tak henti-henti hingga kini, pahit, tak bersisa hingga tak ada lagi ruang untuk tersayat. Semenjak pacaran dengan Gusti, Radam adalah perempuan yang membebaskan jiwanya, Gusti adalah laki-laki hebat, tak memandang Radam sebagai perempuan. Segalanya meraka lakukan berdua, tak ada sekat, tak ada porsi, dan tak pedulikan posisi. Gusti dan Radam sama-sama meneguk alkohol, Gusti dan Radam sama-sama penikmat Putau, Gusti dan Radam sama-sama ber-tatto. Tapi Gusti dan Radam sama-sama tak suka menikmati sex dari luar komitmen mereka. Mereka bahagia, saling menghargai, saling menepati janji hingga mereka memutuskan melegalkan persenggamaannya di depan pastur lewat pemberkatan kudus.

Radam pun membiarkan sperma itu berhambur di rahimnya, tumbuhlah bakal Reyfo itu, hingga lahir, hingga menghirup udara dunia. Tapi setelah lima belas bulan Reyfo mampu bergerak menjajaki babak baru dunia ini, Gusti mati. Tak tahu apa sebabnya, tiba-tiba begitu saja, telah lama memang Gusti batuk-batuk, badan Gusti semakin kurus, kering. Ternyata Gusti mati karena AIDS, sontak ia segera memeriksakan diri dan Reyfo. Alhasil, Reyfo negatif tapi tidak dengan dirinya.
*

Kenyataan pahit dibabatnya seketika, sekaligus. Keluarga Gusti menjauh, keluarganya sendiri pergi, orang-orang berhambur menghindar diri, agama menghakimi. Kini hanya tersisa Reyfo, yang semakin tumbuh, semakin butuh hidup sebagai manusia. Reyfo berumur enam tahun terlambat sekolah, Radam tak punya nyali memasukkannya di sekolah taman kanak-kanak. Tapi umurnya yang bertambah itu, keinginan Reyfo yang besar untuk bersekolah, mendesak Radam untuk membangun nyali, harus memasukkannya ke sekolah dasar.

Nyali itu muncul berawal dari pagi hari ini, Radam melihat Reyfo berdiri di jendela, memandang keluar, apa yang dilihat gadis kecil itu ia tak tahu, ia masih sibuk merajut tali rafia menjadi tas, masih sibuk melukis kaleng-kaleng bekas, sambil mengajari Reyfo mengeja kata. Suara desis air mendidih dari cerek menghentikan aktifitas Radam. Segera diangkatnya cerek itu dari atas kompor, menuangkan air mendidihnya ke dalam gelas yang telah terisi susu kental sebelumnya. Lalu Radam menghampiri Reyfo, yang masih tegak berdiri memandang luar jendela. Nada eja Reyfo yang tadi semakin pelan, semakin menggantung melayang lantaran memandangi anak tetangga berangkat sekolah. Radam mendekat, jelas terlihat pemandangan yang terbatas frame jendela adalah seorang anak seumuran Reyfo, berdiri di depan rumahnya sambil menggendong tas dan menjinjing kotak makan menunggu ibunya keluar rumah untuk mengantarnya belajar di sekolah, pemandangan impian Reyfo.

“Pendaftaran sekolah masih dua bulan lagi sayang, kalau waktunya tiba Rey pasti sekolah.” 
Reyfo hanya mengangguk dan setuju mengikuti ajakan Radam menuju meja makan.
*

Pasar ini jauh letaknya dari rumah, tapi Radam memilih yang jauh, menghindar dari tetangganya yang pasti menuju pasar yang dekat. Reyfo sangat gembira berada di toko pakaian, memilih-milih seragam SD, tas sekolah serta sepatu, tak lupa mereka mampir ke toko buku, Reyfo segera menyambar buku-buku cerita, membeli buku pelajaran serta buku tulis dan juga gambar, pensil warna, krayon dan alat-alat sekolah yang lain. Radam terhanyut dalam haru melihat gadis kecilnya senang bukan kepayang. Perasaan yang mungkin tidak akan ia alami untuk beberapa tahun lagi, keberhasilan membuat Reyfo tersenyum sumringah yang mungkin juga tak akan dilihatnya lagi beberapa tahun ke depan, karena ia akan mati.

Hari yang dinanti Reyfo tiba, Reyfo bangun pagi, menolak dimadikan Radam, ia berbusana sendiri, mengenakan bando yang baru dibeli, cantik, Reyfo tampak cantik. Radam merasa hidup hari ini, melihat gadisnya itu. Radam menyiapkan susu dan sandwich, dikemasnya dalam kotak makanan, untuk bekal Reyfo di sekolah, Radam membuatkan sandwich dengan sayur, keju, peti daging sapi dan saus tomat dari resep rahasianya yang paling enak. Reyfo sangat menyukai sandwich buatannya. Hanya Reyfo yang bisa menghargainya, bersedia memakan masakannya, tidak dengan orang lain.

Di depan sekolah, Reyfo lari menuju gerbang, Radam begitu gembiranya.

”Besok Bunda masakin sandwich peti ayam, resep spongsbob sayang, ingat di sekolah jangan membuat jebakan plankton ya!!” Radam berpesan.

Masih di depan sekolah Radam terpaku, berdiri, melihat Reyfo menghilang dari pandangannya. Radam tak ingin kehilangan sedikitpun kesempatan untuk menikmati Reyfo, sangat rugi untuknya, sangat rugi untuk sisa nafasnya.
*

Malam adalah kesempatan Radam memandang gadisnya diam terlelap sebelum mimpi itu akan menggantikan, Radam menemani Reyfo, Radam bercerita, Reyfo bercerita pengalaman pertama di sekolah.

“ Bunda, tadi sama Ibu Guru disuruh cerita tentang Bunda tentang Ayah.”

“Terus Rey ceritanya gimana?”

“Rey bilang Bunda menjual kaleng lucu, digambar, bisa buat tempat pencil, bisa buat celengan, Bunda juga bisa bikin tas dari tali rafia, jadi tas yang bagus, buat tempat hp, buat kotak pensil, buat dompet. Tapi pas Ibu Guru Tanya Ayah, Rey bingung.”

Radam membungkus malam dengan cerita Reyfo, ada sedikit kekhawatiran, tentang orang-orang itu yang menanyakan Gusti.

Pagi hari telepon berdering sebelum Reyfo berangkat sekolah, panggilan dari kepala sekolah Rey. Radam tak enak badan hari ini, ia mulai batuk-batuk, Radam tahu virus itu mulai menjalar merenggut badannya dalam tahap yang lebih tinggi.

”Memangnya sangat penting saya harus menemui Bapak?”

“Baiklah Pak saya nanti mampir ke ruangan Bapak.”

Di ruang kepala sekolah  ini, Radam sesak, bukan karena batuk-batuk tadi pagi, tapi karena Reyfo dikeluarkan dari sekolah, alasan institusi itu basi, hanya karena Rey adalah anak penderita AIDS. Reyfo membujuk Radam dengan jalan-jalan ke sebuah taman kota. Dibelikannya kue bolu, dimanjakannya hari ini dengan semua permintaan Rey sembari berbisik.

“Besok Rey sekolah di tempat baru ya!!”

Kain flanel itu semakin terlihat lembut, tapi tidak di dalamnya, dapat pecah berkeping-keping karena hanyalah sebuah boneka guci, itulah Rey. Radam berusaha terus menambah flanel semakin tebal agar Reyfo terlindung, tak pecah jika jatuh.
*

Sekolah baru, impian Reyfo, rasa senang bertubi-tubi dan menumpuk di senyumnya, di depan gerbang sekolah baru Reyfo mencium tangan Radam, rasa senang itu tumpah, Reyfo berlari saking senangnya, tak hiraukan siapapun, dan inilah yang dilihat Radam, sebuah rasa senang yang tumpah, boneka gucinya pecah. Kain flanel itu tak mampu melindunginya, lantaran benturan sepeda motor terlalu keras menyerang Rey.

“Anak Ibu butuh darah, jika golongan darah Ibu sama segera saja untuk di tranfusi Bu.”

Radam terpaku tak segera menjawab permintaan dokter, harus kepada siapa ia meminta darah, keluarga menjahuinya, orang-orang menghindar bubar, dan agama menghakiminya, sedangkan persediaan bank darah habis.. Radam tak mampu berbuat apa-apa hanya terdiam, memaku di sebelah ranjang Rey terbaring, boneka gucinya benar-benar pecah meski kain flanel itu utuh lembut. Daya yang ia kumpulkan untuk bertahan hidup hilang bersama kepingan pecahan guci, Radam yang tahu akan mati kini menyaksikan kematian satu-satunya api yang menghidupkan tungku daya di dalam jiwanya. Boneka guci dalam kain flanel, itulah Reyfo.

Yogyakarta, 4 Februari 2012
11:02 WIB



  • Tokoh Reyfo terinspirasi dari cerita nyata seorang anak yang dikeluarkan SD setempat karena Ayahnya mengidap HIV AIDS di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;