Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Sabtu, 15 Januari 2011

Virginitas: Tatanan dan Takaran Moralitas

Entah telah banyak yang tahu atau tidak, salah satu prosedur masuk kepolisian wanita, yakni harus melewati tes kesehatan, dan diantara beberapa pemeriksanaan kesehatan tersebut, para pendaftar harus melakukan tes keperawanan yang dilakukan oleh dokter wanita.




Apa sebenarnya makna dari tes keperawanan ini?? Jika tes keperawanan menjadi salah satu dari serangkaian tes kesehatan, tentunya tes kesehatan sendiri pastilah bertujuan untuk menyeleksi peserta dengan kriteria standarisasi fisik, yaitu akan dinyatakan bahwa peserta tidak mempunyai penyakit apapun alias sehat, yang dapat mempengaruhi kerja seorang polisi wanita nantinya. Sementara keperawanan yang harus di tes, bukan lagi kriteria yang berhubungan dengan kesehatan dan sama sekali tidak mempengaruhi kwalitas kerja fisik.


Jika ada pendapat lain tentang alasan dilakukannya tes keperawanan, yakni merupakan standar moralitas seorang calon polisi wanita. Alasan yang sangat sederhana, berarti disini takaran moralitas seorang perempuan hanya diukur dari utuh atau tidaknya selaput dara.

Ada beberapa testimoni yang sejutu dalam menanggapi program tes keperawanan dalam seleksi masuk polisi wanita:
Orang pertama: “Saya setuju dengan adanya tes keperawanan terhadap
kaum wanita???? karna diera globalisasi ini sudah banyak
wanita yang bergaul secara bebas apa lgi bagi anak2
sekolah yang masih banyak yang melakukan sex bebas.
maka itu hindari sex bebas.”
Orang kedua: “saya mendukung program tsb, itu bukan melecehkan
harga diri wanita,...tapi itu cara mengetahui moral
wanita,… kenapa diperiksa samam dr. ngak mau,
sedangkan diobok obok pacarnya mau.. berarti yang tidak
mau diperiksa pasti bukan perawan,...he,,he,,. bener
ngak???????”

Sebagai manusia yang dibekali ilmu serta pengetahuan, kita boleh bebas berpendapat, mengenai moralitas dan harga diri. Apakah takaran tersebut berdasarkan logika, bukankah untuk mengetes sikap dan moralitas lebih tepatnya harus dilakukan oleh seorang ahli psikiatri, dan bukan hanya atas dasar pemeriksaan kesehatan secara fisik, sepertinya tak nyambung.

Dan lagi, logikanya, utuh atau tidaknya selaput dara sepertinya tidak mempengaruhi kualitas kerja fisik, seorang akan tetap dinyatakan sehat jika ia tak lagi perawan. Menanggapi testimoni di atas, atas nama moralitas, apakah adil semua perempuan yang harus menghadapi kenyataan bahwa ia tak lagi perawan menanggung pukulan rata, bahwa mereka tak bermoral. Pelaku sex bebas sudah pasti mereka telah tak perawan, namun seorang yang tidak perawan belum tentu ia adalah pelaku sex bebas.

Berarti disini seorang perempuan yang ingin menjadi polisi wanita dan mempunyai kemampuan dari segi skill, namun ia dinyatakan tak perawan, haruskah menanggung akibat dari ketidaklogisan sebuah tes kesehatan tersebut.

Untuk apa meributkan keperawanan, lihatlah perempuan yang mempunyai skill di atas, ia perlu dpertimbangkan karena mempunyai skill, bukan disingkirkan karena ia tak lagi perawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;