Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 04 Maret 2012

Cawat dan Kutang untuk Ibu


Saya hampir lupa kapan terakhir Ibu membeli kutang dan cawat baru untuk memberi baju identitas perempuan-nya itu. Dulu Ibu adalah seorang pedagang pakaian, kembali saya ingat-ingat, Ibu memang tak pernah membeli kutang dan cawat, ia hanya mengambil dari barang dagangannya, itupun tak sering. IIbu selalu menimbang untung dan rugi nya terlebih dulu. Sebelum Ibu berjualan pakaian di emperan toko Pasar Besar Malang, Ibu adalah seorang guru kursus menjahit, kembali lagi saya mengingat dengan keras, ia sama sekali tak pernah membeli kutang, dijahitnya sendiri kutang itu dari kain mori atau pun goni bekas bungkus tepung beras. Kutang itu bentuknya lucu, lancip seperti gunung di ujung tempat susu. Ketika kelas lima SD saya sangat ingat, merengek minta dijahitkan kutang, saya ingin seperti Ratu Marie Antoinette, menarik kencang-kencang tali kur yang disilangkan di lubang kutang bagian punggung, saya membayangkan ada seorang emban yang membantu saya menariknya kencang-kencang, seketika susu saya yang baru mulai tumbuh dengan rasa nyeri itu, menjadi lancip seperti gunung. Tapi ketika pelajaran olah raga, saya tiba-tiba pingsan karena tarikan tali kur itu terlalu kencang, saya tak bisa bernapas, dada saya sesak.
            Kini umur saya dua puluh tiga tahun, dada saya masih sesak, bukan karena memakai kutang jahitan Ibu, susu saya juga terasa nyeri, bukan karena ia tumbuh lagi tapi karena gigitan bayi perempuan yang baru saya lahirkan. Saya semakin sesak karena Ibu kini sama sekali tak pernah membeli cawat dan kutang, cawat yang dikenakannya usang. Jika saya timbang mungkin usianya separuh usia saya, itu berarti ketika susu saya baru mulai tumbuh. Jahitan kutang Ibu tampak bertumpuk, karena dijahit lagi dan ditumpuk lagi dengan benang untuk menutupi kain yang rapuh penuh robekan.
            Pagi ini saya bangkit dari tempat tidur, badan saya masih lemas, darah masih keluar dari vagina saya, jahitan pada labia minora saya masih rapi. Sama sekali saya hiraukan bayi perempuan itu, saya bangun dan menuju kamar mandi, saya ingin mencuci cawat dan kutang ibu.
“Nduk anakmu nangis, disusoni disik.”1 Ibu membuyarkan lamunan saya tentang cawat dan kutangnya, tapi saya tak bergegas untuk beranjak dari kamar mandi ini. Saya lelah, dada saya masih sesak.
“ Nduk anakmu iku ga salah, lapo se awakmu kok koyo ngene?”2
***

Sekarang umur saya dua puluh lima tahun, anak perempuan saya berumur dua tahun, saya telah luluh meski dada saya masih sesak, anak perempuan saya sangat mirip dengan Bapaknya, tapi ia tak seperti anak perempuan yang lain, karena ia lahir tak normal, punggungnya membungkuk, matanya yang satu lebih kecil. Anak perempuan itu mewarisi kecantikan saya, tapi Bapaknya telah menyayat rupa ayu anak perempuan kecil saya, dulu saya dipaksa minum obat peluntur kandungan saat ia masih mendekam di dalam rahim saya. Tapi keinginan anak perempuan ini untuk hidup sangat besar, ia bertahan meski akhirnya ia hancur. Dan saya pun memberanikan diri berbicara kepada Ibu. Ibu seorang yang keras tiba-tiba lumpuh dengan kesabaran, ia pergi ke rumah bapak calon anak perempuan saya, Ibu disuruhnya masuk, namun keluarga bapak anak perempuan saya menyangkal, Ibu kembali datang dan tak dibukakan pintu, Ibu terus datang seperti pengemis. Ibu pulang.
“Dia bukan laki-laki baik nduk?” Ibu lelah juga pada akhirnya.
“Dia bilang, dia kan ndak ngrokok kaya kamu, kalau mau njadikan kamu istri, istri macam apa katanya.”
Anjing, mantan laki-laki saya memang anjing. Saya tahu hati Ibu sangat hancur, tak lagi berkeping-keping, mungkin telah menjadi serpihan debu bahkan. Terus menyelimutinya tiap malam dan membelenggu dalam mimpi menjadi dendam untuk membinasakan mantan laki-laki saya.
"Bu, saya sudah bisa tidur pulas kok Bu." Ibu terdiam menghiraukan omongan saya..
"Bu saya bisa bermimpi indah lagi Bu."
"Bu rasa malu saya sudah hilang untuk mendengarkan mulut orang-orang."
Dan Ibu kini mematung, dengan mata tajam tanpa kedipan, tatapan itu menghunjam tembok hingga retak, saya tahu sakit hati yang telah hancur menjadi debu dikeluarkannya dan seketika menghantam tembok yang semula putih menjadi abu-abu lusuh, tampak sudah amarah Ibu benar-benar memuncak, seperti bekas kayu yang tersulut api hingga habis, bahkan tak membekas dalam hitamnya arang sekalipun.
***

Ibu saya semakin tak peduli akan kutang dan cawat, bahkan miliknya kini benar-benar telah rapuh, tak pernah lagi dikenakannya, Ibu membuang rasa malu, meskipun pergi ke pasar, Ibu membiarkan susu nya bergelantungan tanpa kutang. Susu yang kendor karena telah saya hisap dan habiskan selama dua puluh lima tahun. Harusnya saya lah yang tak punya rasa malu, tidak juga karena saya telah menyedot habis susu Ibu, ditambah anak perempuan saya. Terpaksa saya mengajarinya mencicipi susu Ibu itu, agar kami terus bisa hidup.
“Sing penting, awakmu kudu sampe marekno kuliah, Ibu pengen kamu pinter, terus kerjo sing luwih dari aku nduk.”3
Cita- cita Ibu cuma satu, membiarkan saya terus menghisap susunya sampe habis agar saya bisa menyelesaikan kuliah, meskipun ia telah punya cucu tanpa menantu. Tapi saya tahu dendam Ibu seperti yang pernah saya rasakan dulu, sebuah dendam yang terasa sesak seperti terlalu kencang menarik tali kur kutang.
Tak dapat melakukan apa-apa Ibu saya itu, tak juga membeli cawat dan kutang baru, Ibu hanya berusaha menghela napas dan menghembuskannya di ruang dukun, rasa sakit yang saya lihat menjadi debu ingin segera dimuntahkannya dan dihantamkannya ke dada Bapak dari anak perempuan saya. Ibu berharap ia mati, tersungkur dan terkubur debu-debu menggunung menjadi tanah padat. Tapi Ibu tak berhasil, ternyata hanyalah praktik dukun tipu-tipu. Dikumpulkannya lagi debu itu dalam dada Ibu, kini pergi Ibu ke dukun lainnya, berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan silih berganti wajah wajah dukun yang berjanji menyihir debu dalam dada Ibu menjadi sebilah pedang panjang yang siap memburaikan dada bapak anak perempuan saya.
Saya khawatir kini, saya tak memiliki susu, anak saya meronta kelaparan, rupanya susu Ibu habis kerontang. Tanpa sadar saya pun menjadi lemas, tak ada lagi daging susu yang bergelambir yang siap saya santap, semua benar-benar habis, Ibu lupa, perjalanan-nya menumpahkan debu di dada telah menyerap tenaganya untuk memberi hidup saya dan anak perempuan saya.
***

Dengan rasa lapar akhirnya saya wisuda, lega sudah, mungkin inilah sebuah upacara bahwa saya akan sanggup mengisi penuh susu saya sendiri, memakai kutang terbaik berbahan katun dengan pengait kawat yang di desain tak akan melukai kulit dada. Membawa anak perempuan saya dan kembali mengajarinya untuk hanya menikmati susu saya, bukan lagi susu Ibu, karena Ibu benar-benar hanya mampu terlentang di ranjang dengan tembok bekas warna abu-abu yang dulu terhantam debu dari dada Ibu.
Rupannya inilah titik Ibu lelah, akhirnya kini Ibu terlentang sudah. Dengan debu yang masih berkecamuk di dadanya. Dendam yang tak terbalas yang menghabiskan seluruh cawat dan kutang Ibu. Saya lah yang berdosa, sayalah penyebab semuanya, sayalah awal dari segalanya, dendam, debu, pedang, Ibu terlentang, semua karena saya, anak perempuan satu-satunya yang Ibu lahirkan dengan susah payah, membesarkan dengan kerelaan menggadaikan cawat dan kutangnya selama hampir lebih dari dua puluh lima tahun. Ibu saya menanti ulang tahunmu.
***

Saya mampu membeli cawat dan kutang sekarang, untuk pertama kalinya ini, biarkan saya persembahkan untuk Ibu. Tidak hanya sepuluh pasang, tapi tujuh puluh pasang, yang tak akan habis dikenakannya selama satu bulan meski berganti pasang tiap pagi dan siang. Saya pulang, membawa berbungkus-bungkus cawat dan kutang, inilah hari ulang tahun Ibu. Saya akan senang melihat Ibu mengenakan cawat dan kutang baru untuk memberi pakaian identitas perempuan miliknya itu. Saya berteriak.
“Selamat Ulang Tahun Ibu”
Ibu masih tetap terlentang, bahkan diam, meski matanya tajam menghunjam atap, tapi mata itu sama sekali tak berkedip, Ibu tetap diam, saya mendekat, Ibu menghiraukan langkah pasrah saya, tetap diam bahkan tak bergeming, ternyata Ibu mati, dengan mata tajam penuh dendam dan muntahan debu-debu.

1 Nduk anakmu menangis, diberi susu dulu sana!
2 Nduk anakmu itu tidak punya kesalahan, kenapa sih kamu berbuat seperti itu?
3 Yang penting kamu harus menyelesaikan kuliah, Ibu ingin kamu menjadi pintar. lalu bekerja yang lebih baik dari pada Ibu.


Yogyakarta, 2 Maret 2012
04.40 WIB

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ana kisah tulisanmu begitu menyentuh aq kagum dengan ketegaran seorang ibu bahkan mulai dari kecil sampai sekarang aq punya anak blm bisa membuat ibuku bangga pada ku

Posting Komentar

 
;