Tweet |
Saya hampir lupa kapan terakhir Ibu membeli kutang dan cawat baru untuk memberi baju identitas perempuan-nya itu. Dulu Ibu adalah seorang pedagang pakaian, kembali saya ingat-ingat, Ibu memang tak pernah membeli kutang dan cawat, ia hanya mengambil dari barang dagangannya, itupun tak sering. IIbu selalu menimbang untung dan rugi nya terlebih dulu. Sebelum Ibu berjualan pakaian di emperan toko Pasar Besar Malang, Ibu adalah seorang guru kursus menjahit, kembali lagi saya mengingat dengan keras, ia sama sekali tak pernah membeli kutang, dijahitnya sendiri kutang itu dari kain mori atau pun goni bekas bungkus tepung beras. Kutang itu bentuknya lucu, lancip seperti gunung di ujung tempat susu. Ketika kelas lima SD saya sangat ingat, merengek minta dijahitkan kutang, saya ingin seperti Ratu Marie Antoinette, menarik kencang-kencang tali kur yang disilangkan di lubang kutang bagian punggung, saya membayangkan ada seorang emban yang membantu saya menariknya kencang-kencang, seketika susu saya yang baru mulai tumbuh dengan rasa nyeri itu, menjadi lancip seperti gunung. Tapi ketika pelajaran olah raga, saya tiba-tiba pingsan karena tarikan tali kur itu terlalu kencang, saya tak bisa bernapas, dada saya sesak.
Kini umur saya dua puluh tiga tahun,
dada saya masih sesak, bukan karena memakai kutang jahitan Ibu, susu saya juga
terasa nyeri, bukan karena ia tumbuh lagi tapi karena gigitan bayi perempuan
yang baru saya lahirkan. Saya semakin sesak karena Ibu kini sama sekali tak
pernah membeli cawat dan kutang, cawat yang dikenakannya usang. Jika saya
timbang mungkin usianya separuh usia saya, itu berarti ketika susu saya baru
mulai tumbuh. Jahitan kutang Ibu tampak bertumpuk, karena dijahit lagi dan
ditumpuk lagi dengan benang untuk menutupi kain yang rapuh penuh
robekan.
Pagi ini saya bangkit dari tempat
tidur, badan saya masih lemas, darah masih keluar dari vagina saya, jahitan
pada labia minora saya masih rapi. Sama sekali saya hiraukan bayi perempuan
itu, saya bangun dan menuju kamar mandi, saya ingin mencuci cawat dan kutang
ibu.
“Nduk anakmu nangis, disusoni disik.”1
Ibu membuyarkan lamunan saya tentang cawat dan kutangnya, tapi saya tak
bergegas untuk beranjak dari kamar mandi ini. Saya lelah, dada saya masih
sesak.
“ Nduk anakmu iku ga salah, lapo se awakmu kok koyo
ngene?”2
***
Sekarang umur saya dua puluh lima tahun, anak
perempuan saya berumur dua tahun, saya telah luluh meski dada saya masih sesak,
anak perempuan saya sangat mirip dengan Bapaknya, tapi ia tak seperti anak
perempuan yang lain, karena ia lahir tak normal, punggungnya membungkuk,
matanya yang satu lebih kecil. Anak perempuan itu mewarisi kecantikan saya,
tapi Bapaknya telah menyayat rupa ayu anak perempuan kecil saya, dulu saya
dipaksa minum obat peluntur kandungan saat ia masih mendekam di dalam rahim
saya. Tapi keinginan anak perempuan ini untuk hidup sangat besar, ia bertahan
meski akhirnya ia hancur. Dan saya pun memberanikan diri berbicara kepada Ibu.
Ibu seorang yang keras tiba-tiba lumpuh dengan kesabaran, ia pergi ke rumah
bapak calon anak perempuan saya, Ibu disuruhnya masuk, namun keluarga bapak
anak perempuan saya menyangkal, Ibu kembali datang dan tak dibukakan pintu, Ibu
terus datang seperti pengemis. Ibu pulang.
“Dia bukan laki-laki baik nduk?” Ibu lelah juga pada
akhirnya.
“Dia bilang, dia
kan ndak ngrokok kaya kamu, kalau mau njadikan kamu istri, istri macam apa
katanya.”
Anjing, mantan laki-laki saya memang anjing. Saya tahu hati
Ibu sangat hancur, tak lagi berkeping-keping, mungkin telah
menjadi serpihan debu
bahkan. Terus menyelimutinya tiap malam dan membelenggu dalam
mimpi menjadi dendam untuk membinasakan mantan laki-laki saya.
"Bu, saya
sudah bisa tidur pulas kok Bu." Ibu terdiam menghiraukan omongan
saya..
"Bu saya
bisa bermimpi indah lagi Bu."
"Bu rasa
malu saya sudah hilang untuk mendengarkan mulut orang-orang."
Dan Ibu kini
mematung, dengan mata tajam tanpa kedipan, tatapan itu menghunjam tembok hingga
retak, saya tahu sakit hati yang telah hancur menjadi debu dikeluarkannya dan seketika
menghantam tembok yang semula putih menjadi abu-abu
lusuh, tampak sudah
amarah Ibu benar-benar memuncak, seperti bekas kayu yang tersulut api hingga
habis, bahkan tak membekas dalam hitamnya arang sekalipun.
***
Ibu saya semakin tak peduli akan kutang dan cawat,
bahkan miliknya kini benar-benar telah rapuh, tak pernah lagi dikenakannya, Ibu
membuang rasa malu, meskipun pergi ke pasar, Ibu membiarkan susu nya
bergelantungan tanpa kutang. Susu yang kendor karena telah saya hisap dan
habiskan selama dua puluh lima tahun. Harusnya saya lah yang tak punya rasa
malu, tidak juga karena saya telah menyedot habis susu Ibu, ditambah anak
perempuan saya. Terpaksa saya mengajarinya mencicipi susu Ibu itu, agar kami
terus bisa hidup.
“Sing penting, awakmu kudu sampe marekno kuliah, Ibu
pengen kamu pinter, terus kerjo sing luwih dari aku nduk.”3
Cita- cita Ibu cuma satu, membiarkan saya terus
menghisap susunya sampe habis agar saya bisa menyelesaikan kuliah, meskipun ia
telah punya cucu tanpa menantu. Tapi saya tahu dendam Ibu seperti yang pernah
saya rasakan dulu, sebuah dendam yang terasa sesak seperti terlalu kencang
menarik tali kur kutang.
Tak dapat melakukan apa-apa Ibu saya itu, tak juga
membeli cawat dan kutang baru, Ibu hanya berusaha menghela napas dan menghembuskannya
di ruang dukun, rasa sakit yang saya lihat menjadi debu ingin segera
dimuntahkannya dan dihantamkannya ke dada Bapak dari anak perempuan saya. Ibu
berharap ia mati, tersungkur dan terkubur debu-debu menggunung menjadi tanah
padat. Tapi Ibu tak berhasil, ternyata hanyalah praktik dukun tipu-tipu.
Dikumpulkannya lagi debu itu dalam dada Ibu, kini pergi Ibu ke dukun lainnya,
berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan silih berganti wajah wajah
dukun yang berjanji menyihir debu dalam dada Ibu menjadi sebilah pedang panjang
yang siap memburaikan dada bapak anak perempuan saya.
Saya khawatir kini, saya tak memiliki susu, anak
saya meronta kelaparan, rupanya susu Ibu habis kerontang. Tanpa sadar saya pun
menjadi lemas, tak ada lagi daging susu yang bergelambir yang siap saya santap,
semua benar-benar habis, Ibu lupa, perjalanan-nya menumpahkan debu di dada
telah menyerap tenaganya untuk memberi hidup saya dan anak perempuan saya.
***
Dengan rasa lapar akhirnya saya wisuda, lega sudah,
mungkin inilah sebuah upacara bahwa saya akan sanggup mengisi penuh susu saya
sendiri, memakai kutang terbaik berbahan katun dengan pengait kawat yang di
desain tak akan melukai kulit dada. Membawa anak perempuan saya dan kembali
mengajarinya untuk hanya menikmati susu saya, bukan lagi susu Ibu, karena Ibu
benar-benar hanya mampu terlentang di ranjang dengan tembok bekas warna abu-abu
yang dulu terhantam debu dari dada Ibu.
Rupannya inilah titik Ibu lelah, akhirnya kini Ibu
terlentang sudah. Dengan debu yang masih berkecamuk di dadanya. Dendam yang tak
terbalas yang menghabiskan seluruh cawat dan kutang Ibu. Saya lah yang berdosa,
sayalah penyebab semuanya, sayalah awal dari segalanya, dendam, debu, pedang,
Ibu terlentang, semua karena saya, anak perempuan satu-satunya yang Ibu
lahirkan dengan susah payah, membesarkan dengan kerelaan menggadaikan cawat dan
kutangnya selama hampir lebih dari dua puluh lima tahun. Ibu saya menanti ulang
tahunmu.
***
Saya mampu membeli cawat dan kutang sekarang, untuk
pertama kalinya ini, biarkan saya persembahkan untuk Ibu. Tidak hanya sepuluh
pasang, tapi tujuh puluh pasang, yang tak akan habis dikenakannya selama satu
bulan meski berganti pasang tiap pagi dan siang. Saya pulang, membawa
berbungkus-bungkus cawat dan kutang, inilah hari ulang tahun Ibu. Saya akan
senang melihat Ibu mengenakan cawat dan kutang baru untuk memberi pakaian identitas
perempuan miliknya itu. Saya berteriak.
“Selamat Ulang Tahun Ibu”
Ibu masih tetap terlentang, bahkan diam, meski
matanya tajam menghunjam atap, tapi mata itu sama sekali tak berkedip, Ibu
tetap diam, saya mendekat, Ibu menghiraukan langkah pasrah saya, tetap diam
bahkan tak bergeming, ternyata Ibu mati, dengan mata tajam penuh dendam dan
muntahan debu-debu.
1 Nduk anakmu menangis, diberi susu dulu sana!
2 Nduk anakmu itu tidak punya kesalahan, kenapa sih kamu
berbuat seperti itu?
3 Yang penting kamu harus menyelesaikan kuliah, Ibu ingin kamu
menjadi pintar. lalu bekerja yang lebih baik dari pada Ibu.
Yogyakarta, 2 Maret 2012
04.40 WIB
1 komentar:
Ana kisah tulisanmu begitu menyentuh aq kagum dengan ketegaran seorang ibu bahkan mulai dari kecil sampai sekarang aq punya anak blm bisa membuat ibuku bangga pada ku
Posting Komentar