Tweet |
Sampai
sekarang saya bingung, apa sebenarnya hubungan antara kelamin dengan hati. Dulu
ketika kelamin saya tak tersentuh, sepertinya hati saya baik-baik saja,
berfungsi normal, dapat berkompromi dengan logika.
Perjalanan
kelamin ini bermula dari kebodohan akan sebuah rasa. Rasa yang pertama kali
muncul saat pertama kali kelamin tersetuh. Entah apa yang terjadi, saat kelamin
itu kembang kempis sesak karena udara bekurang untuk menyempil masuk akibat
benda tajam yang menusuk nusuk. Ada satu serabut neuron yang tumbuh lantang
terus memanjang hingga mengakar di lumbung rasa.
Keadaan
yang aneh, rasa bercampur toksik. Ia meluber leleh seperti es krim kepanasan.
Perlahan menetes dan ada satu tetesan membeku abadi, keras dan tak terganggu
gugat.
Sebenarnya
tetesan itu adalah dendam, yang mengkerak menjadi fosil batu. Fosil yang tak disadari, yang lama-lama
mengganjal, sakit lah rasa diatasnya.
Dan
saya ini menjadi sebuah tubuh yang menyimpan fosil batu yang mengkerak di bawah
rasa. Tidak hanya satu tapi sudah terkumpul beberapa. Batu-batu akibat dari
kebodohan semu akan pembagian genetik budaya dari benda-benda fisik dan non
fisik dalam oposisi biner tai babi.
Sebenarnya
rasa itu agung, manifestasi yang bersifat Ketuhanan, bersifat monolitik, bebas
berkembang melayang mendobrak dualitas anjing.
Fosil
yg menyebabkan rasa sakit, sepertinya adalah wujud dari peperangan antara ranah
duniawi dan ketuhanan. Rasa itu tak mengenal dualitas. Tapi sampai kapanpun
menjadi kambing hitam, korban dari dualitas
Rasa
tak berkelamin, ghaib, metafisis, supra naturalis. Tapi kini rasa yang saya
miliki mencium aura sakit, determinasi dari oposisi sehat.
Saya
ingin menjadi Tuhan seperti Budha, mereka kehilangan rasa untuk moksa abadi.
Lebih tepat mematikan rasa yang selalu dikambing hitamkan setiap saat,
dipermaikan setiap waktu. agar saya tak lagi menjadi makhluk yang dapat
merasakan dualitas ini. Bukan makhluk yang dipermaikan, makhluk sakit jiwa,
yang hanya sementara waktu saja tidak dapat mengfungsikan rasa.
Akhirnya
saya memilih menjadi makhluk yang seperwaktu saya sengaja saya buat hilang,
untk sejenak menikmati sifat Ketuhanan. Dengan menghentikan fungsi otak sadar
saya sehingga saya berada di ambang alam astral, alam yang dekat dengan sifat
Ketuhanan. Terimakasih tumbuhan-tumbuhan berjiwa supra, telah membantu mengunci
otak sadar saya. Yang telah menjadikan seperwaktu saya menjadi makhluk sakit
jiwa, makhluk yang merasakan sifat Ketuhanan.
(Aku
lebih baik dibenci sebagai diriku
sebenarnya, ketimbang jadi munafik untuk disukai orang…… Thanks Curt Cobain)
Amartanie Oktaviana
Jakarta, 6 Juli 2013
15:43 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar