Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Kamis, 30 Desember 2010 0 komentar

About Amartaniesm

Pernah saya alami satu pertanyaan berasal dari orang yang mengetahui buku-buku yang saya baca, “Kamu feminis?? Seharusnya kamu bisa hidup tanpa laki-laki, tapi kamu sekarang punya pacar.” Yah, pertanyaan itu membuat saya memutar otak, harus dengan jawaban apa saya ajukan. Saya merasa terpotong, dan hampir saya jawab “I’m not feminist but I hate patriarch.”

Pertanyaan itu terus meng-invasi saya, ternyata menyebut diri sebagai seorang feminis sangatlah berat. Menurut saya pemikiran feminis tak seperti itu, lalu apakah saya harus menjelaskan panjang lebar tentang paham feminisme dalam waktu singkat dari sebuah pertanyaan, harus memakai statement siapa, harus meneguhkan dengan teori siapa, dan untuk apa??
0 komentar

Heroisme Diri



Menulis bagi saya adalah ungkapan kata hati atas apa yang saya lihat, saya rasakan dan saya teguhkan dengan teori-teori yang telah diakui publik yang mampu mendukung pemikiran saya. Sebenarnya saya merasa menyusun teori-teori sendiri dari kata hati tersebut, namun saya bukan siapa-siapa yang belum mendapat pencapaian publik. jika teori itu adalah subyektifitas dan bukan atas dasar pembuktian empiris, siapakah yang akan percaya kepada saya, lebih tepatnya semua hanya berupa hipotesa diri. Namun saya merasa sangat beruntung menemukan teori dari orang-orang hebat yang mampu meneguhkan apa yang saya pikirkan dan rasakan dari proses yang telah saya jalani.
0 komentar

“Hegemoni Ke-malu-an”

Membicarakan tentang kekuasaan, mungkin yang terlintas dalam benak kita adalah suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok orang atau bahkan negara yang memiliki kekuatan untuk mendapatkan tujuan tertentu. Jika sekelompok orang tersebut menamakan diri sebagai kelas yang kuat dan ingin berkuasa demi tujuannya atas kelas lain yang lemah, pada proses ini terjadilah suatu hegemoni.

Dalam keseharian saya sebagai perempuan, tak dipungkiri lagi bahwa saya hidup dengan budaya patriarki, yaitu budaya dengan kekuasaan laki-laki. Budaya ini terkonstruksi menjadi konvensi sosial sejak masa komunal primitive dan berkembang hingga sekarang, jadi bisa dibilang adalah budaya yang turun temurun dan ajeg. Saya rasakan dalam sistem budaya ini, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sangat jelas, satu buku yang meneguhkan apa yang saya rasakan itu, bahwa dari proses turun trah prasejarah yang belum mengenal pembagian kerja, lahir konsep gender yang mempertegas pengkotakan jenis kelamin serta hak-hak nya, dan seolah menjadi hal yang kodrati, hal ini juga diperkuat juga oleh nilai-nilai agama. Bisa dibilang bahwa penjelasan di atas menggambarkan adanya suatu hegemoni budaya, yaitu budaya patriarki yang memberi kotak secara tegas antara laki-laki dan perempuan.
0 komentar

Setetes Susu Yang Menyejukkan

Tulisan saya dibawah ini tak ingin mengunggulkan salah satu jenis kelamin, kita tahu bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia ciptaan Tuhan yang memiliki derajat yang sama. Perjuangan perempuan pada akhirnya bukan semata-mata ingin mengungguli laki-laki. Banyak di berbagai belahan dunia perempuan-perempuan hebat, seperti Kartini, Simone De Beauvoir, Julia Kristeva, Gayatri Spivak, dan lain sebagainya. Mereka berjuang karena stigma yang tumbuh subur dan diperkuat oleh mitos-mitos, yaitu dunia patriarkhi yang menomorduakan perempuan. Simone De Beauvoir seorang feminist eksistensialis yang merupakan istri dari Jean Paul Sartre, menyebutnya The Second Sex. Karena stigma itulah kita perlu berjuang agar menjadi sama, dihargai, dan bukan dipandang sebagai perempuan yang hanya memiliki vagina belaka. Kita memiliki pikiran, hati dan tentunya potensi yang perlu digali, setidaknya menyumbangkan sesuatu yang positif untuk kehidupan sosial (ah saya terlalu muluk disini) ralat, untuk kehidupan masing-masing yang lebih baik, tanpa deskriminasi ataupun seksisme. Inilah sedikit catatan saya jika anda berkenan untuk membaca.


The Inferiority of Women

Superior dan inferior, kuat dan lemah, laki-laki dan perempuan, adalah stereotipe hasil konstruksi budaya dalam suatu sistem sosial, meskipun kita tahu bahwa hal tersebut tak mutlak dalam setiap budaya yang berkembang di berbagai tempat. Pelabelan beroposisi biner di atas seolah adalah hal yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat, terutama budaya timur,
Selasa, 21 Desember 2010 1 komentar

Karya Usang

Dihadapkan dengan satu statement, bahwa menuangkan pikiran feminis dalam berkarya adalah hal yang usang, bukan waktunya lagi, dan ketinggalan jaman. Saya menjadi sedikit memutar otak, usang bagaimana, feminis bagi saya adalah sebuah pengalaman dan perjuangan demi diri sendiri dan demi orang-orang di dekat saya, agar mereka paham akan pilihan hidup saya seperti apa. Saya sadar bahwa saya bukan Kartini yang melihat realitas sosial tentang perempuan-perempuan disekitarnya yang tertindas akan ketidakseimbangan posisi dalam sebuah sistem post kolonial kala itu. Bahkan saya sangat paham bahwa sekarang saya dapat menikmati pendidikan dan mengejar pekerjaan sama dengan posisi laki-laki.
Minggu, 12 Desember 2010 0 komentar

Tentang Jendela

Ketika jendela itu membatasi pandangan saya terhadap dunia luar karena sisi-sisinya, saya mulai paham bahwa jendela itu memberi saya sedikit ruang untuk mengintip, entah apa saja yang mampu saya intip, realitas atau subyektifitas.. sedangkan saya kini berada di dalam sebuah konstruksi yang alami terbentuk, saya sebut alami karena saya tak tahu sejarah hingga konstruksi ini berdiri, kapan dan sampai kapan akan ajeg tegak berdiri, saya hanya mampu merenovasi, dengan kemampuan saya atas otoritas diri yang agak meragukan karena berada di bawah otoritas yang besar.
0 komentar

Kesederhanaan Daya Pikir Saya

Mungkin sederhana saja saya menuturkan alasan ketika pikiran ini condong kepada kesadaran feminis, ternyata setelah sekian lama, sensitifitas atas ketimpangan gender berawal dari suatu relasi pasangan. Waktu itu rasanya muncul sesuatu yang tak nyaman, entah apa sebabnya, setelah membongkar pikiran, sepertinya partner relasi saya baik-baik saja, sangat baik bahkan memperlakukan saya. Lalu apa yang membuat tak nyaman, saya gamang kala itu, seperti berusaha mencari tau tentang diri saya sendiri, akhirnya rasa tak nyaman menumpuk dan meledak tak terarah serta mengancam relasi yang sekian lama saya bangun dengan pasangan, rasa tak nyaman bersama pasangan saya terus bergelayut, setelah ancaman terhadap hubungan kami semakin besar akhirnya menjadi benturan keras yang menerpa saya, dan saya harus kehilangan partner saya. Rasa tak nyaman seketika hilang, namun saya larut dalam kesedihan karena kehilangan, saya merasa tersakiti dan menjadi korban, mantan relasi saya bukan penjahat, sehingga waktu itu saya menarik kesimpulan bahwa ada suatu sistem yang mendesak dirinya dan memposisikan saya sebagai korban. Dari sinilah awal pemikiran feminis saya, bahwa misssistem tersebut adalah ketimpangan sebuah konstruksi gender.
0 komentar

Sebuah Mesin dalam Autobiografi

“’Aku’ ini adalah, dapat dikatakan, jiwa, yang dengannya aku menjadi aku, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan tubuh”
“Aku menyadari diriku sendiri, pertama-tama, karena ia memiliki sebuah wajah, tangan, lengan dan seluruh mesin yang dibuat dari daging dan tulang, sama seperti terlihat pada seonggok mayat, dan yang saya tunjuk dengan nama tubuh.”

(Rene Descartes)


Membaca hipotesa Rene Descartes di atas, seketika terngiang di otak saya bahwa tubuh ini memang seperti sebuah mesin, Descartes menambahkan bahwa ‘aturan-aturan mekanika’ pada hakikatnya adalah ‘aturan-aturan alam’. Saya semakin sependapat dengan Descartes, ketika saya tahu bagian dari tubuh ini dalah mesin pencetak sesuatu yang kasat, saya menjadi bangga karena hal tersebut tak dimiliki manusia yang berbeda jenis kelamin dengan diri saya. Tapi kadangkala saya merasa sedih jika hanya dilihat sebagai sebuah mesin serta beberapa fungsi dominannya saja. Saya berharap mereka tak lupa bahwa saya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, yakni tubuh dan jiwa, jiwa yang tak dapat dijelaskan dengan aturan-aturan mekanika. Saya tidak benci dengan realitas alat pencetak itu, karena merupakan identitas alami saya, kadang kala saya hanya merasa kecil dan sedikit tersingkir dengan realitas sosialnya, stigma, stereotype, dan entah apalagi namanya yang membingungkan. Yah, sebuah mesin pencetak itu adalah metafora sebutan saya atas nama alat reproduksi.
 
;