Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Kamis, 30 Desember 2010

“Hegemoni Ke-malu-an”

Membicarakan tentang kekuasaan, mungkin yang terlintas dalam benak kita adalah suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok orang atau bahkan negara yang memiliki kekuatan untuk mendapatkan tujuan tertentu. Jika sekelompok orang tersebut menamakan diri sebagai kelas yang kuat dan ingin berkuasa demi tujuannya atas kelas lain yang lemah, pada proses ini terjadilah suatu hegemoni.

Dalam keseharian saya sebagai perempuan, tak dipungkiri lagi bahwa saya hidup dengan budaya patriarki, yaitu budaya dengan kekuasaan laki-laki. Budaya ini terkonstruksi menjadi konvensi sosial sejak masa komunal primitive dan berkembang hingga sekarang, jadi bisa dibilang adalah budaya yang turun temurun dan ajeg. Saya rasakan dalam sistem budaya ini, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sangat jelas, satu buku yang meneguhkan apa yang saya rasakan itu, bahwa dari proses turun trah prasejarah yang belum mengenal pembagian kerja, lahir konsep gender yang mempertegas pengkotakan jenis kelamin serta hak-hak nya, dan seolah menjadi hal yang kodrati, hal ini juga diperkuat juga oleh nilai-nilai agama. Bisa dibilang bahwa penjelasan di atas menggambarkan adanya suatu hegemoni budaya, yaitu budaya patriarki yang memberi kotak secara tegas antara laki-laki dan perempuan.


Sebagai perempuan, tentunya saya dan anda mengalami proses yang bermacam-macam dalam memahami keperempuana, kita juga berhak mendeskripsikan keperempuan berdasarkan paham serta keyakinan masing-masing, tanpa saling membedakan, baik kepada sesama perempuan maupun laki-laki. Di era bebasnya informasi, apapun yang ingin kita ketahui, sangat mudah untuk diperoleh. Jika menilik kebelakang, hal ini tak lepas dari perjuangan para perempuan hebat yang telah berhasil mengubah dunia untuk membuat budaya patriarki mampu berkompromi dengan keberadaan saya. Sehingga, sekarang saya atau mungkin anda mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, bahkan dalam pemerintahan sekalipun. Lalu apa lagi tantangan sebagai perempuan di era ini. Mungkin tantangan saya.

Satu pertanyaan di atas sepertinya perlu membongkar realitas sosial di era ini atas nama perempuan. Sayan dan anda mungkin pernah merasakan atau setidaknya pernah mendengar cerita tentang pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, stigmatisasi janda, atau bahkan stigmatisasi tentang virginitas. Realitas tersebut pasti berhubungan dengan laki-laki. Realitas apakah itu?

Mengenai hegemoni kemaluan. Mengapa harus kemaluan. Rasa malu, adalah rasa yang timbul akibat sesuatu yang kurang enak dalam pandangan umum yang memiliki konsep-konsep tertentu berhubugan dengan etika. Rasa malu juga identik dengan keengganan meng-ekspresikan sesuatu akibat rasa tak enak tersebut. Sedangkan kata malu yang mendapat imbuhan ke- dan –an bisa diartikan sedikit /agak memiliki rasa malu ataupun malu dalam arti kebendaan/malu yang dibendakan. Kata kemaluan sendiri dalam rumpun bahasa kita mempunyai arti untuk menyebut alat genital. Lalu apa hubungannya kemaluan dengan perempun. Dalam budaya kita, jika membahas tentang masalah genital tak dipungkiri terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, ini yang saya rasakan bahwa laki-laki lebih ekspresif sedangkan perempuan memiliki rasa tak enak untuk menyebutnya, apalagi membahasnya. Saya merasa karena ada sesuatu yang ditabukan. Padahal fakta biologinya, alat genital adalah suatu organ yang penting, kontribusinya sama dengan organ penting lainnya, bahkan alat genital bisa dibilang lebih penting karena merupakan gerbang dari awal kehidupan yang suci dan kudus, secara biologi alat genital juga memberikan identitas apakah kita perempuan atau laki-laki. Namun mengapa alat tersebut menjadi tabu sehingga disebut kemaluan, hal ini tak lepas dari fakta sosial yang hanya menghubungkan alat tersebut dengan seksualitas. Sedangkan seksualitas sendiri dalam budaya kita masih tabu untuk dibahas, namun kenyataannya juga menjadi sesuatu yang di idam-idamkan dengan merebaknya praktek prostitusi yang mayoritas pelakunya adalah perempuan dan dilegalkan pemerintah. Rasa jijik akibat stigma seksualitas membuat saya atau mungkin anda jika saya tak salah, menjadi menjauhi alat genital, merasa malu, dan mengalienasi alat tersebut. Disinilah kuasa hegemoni kemaluan bagi saya.
Satu tantangan untuk saya mungkin juga diri anda jika sepaham dengan rasa saya, apakah saya mau salahsatu organ reproduksi saya hanya dihubungkan dengan fungsi seksual belaka, tabu di ruang publik, namun di idam-idamkan dan selalu diburu diam-diam. Dan tak menghargai fungsinya berdasarkan fakta biologi sebagai bagian utuh dari diri saya, merupakan sebuah identitas dan eksistensi fungsional. Lalu mengapa saya harus malu?? Saya juga mempunyai hak untuk berekspresi tanpa sesuatu yang membatasi, yaitu yang tersebut bahwa saya adalah perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;