Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Selasa, 21 Desember 2010

Karya Usang

Dihadapkan dengan satu statement, bahwa menuangkan pikiran feminis dalam berkarya adalah hal yang usang, bukan waktunya lagi, dan ketinggalan jaman. Saya menjadi sedikit memutar otak, usang bagaimana, feminis bagi saya adalah sebuah pengalaman dan perjuangan demi diri sendiri dan demi orang-orang di dekat saya, agar mereka paham akan pilihan hidup saya seperti apa. Saya sadar bahwa saya bukan Kartini yang melihat realitas sosial tentang perempuan-perempuan disekitarnya yang tertindas akan ketidakseimbangan posisi dalam sebuah sistem post kolonial kala itu. Bahkan saya sangat paham bahwa sekarang saya dapat menikmati pendidikan dan mengejar pekerjaan sama dengan posisi laki-laki.


Namun apakah saya salah jika saya bercerita tentang diri sendiri, tentang apa yang saya rasa, dan tentang tindakan saya atas sebuah rasa tersebut. Dalam diri saya tak pernah terlintas seatu perjuangan untuk perempuan-perempuan lain agar mereka sadar akan bias gender, karena saya sangat tau kapasitas serta otoritas saya, pun saya juga mempertimbangkan bahwa setiap perempuan bebas menentukan pikiran dan sikap mereka, jika perempuan-perempuan lain nyaman dengan keadaan dalam sistem serta realitas sekarang, untuk apa saya berkoar-koar di jalan menggalakkan persamaan, saya tau kini banyak perempuan-perempuan cerdas karena telah mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, dari sinilah mereka mampu mengambil sikap atas bentukan kepada diri masing-masing. Jika mereka tak pernah merasa berada di bawah laki-laki dan tak pernah menemui kesakitan atas sosio cultural yang mapan, menurut saya bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan.

Ketika mendegar seorang perempuan karier yang cerdas serta sukses mengeluh dan merasa lelah karena pekerjaan wilayah publik yaitu kariernya dibarengi dengan pekerjaan wilayah domestik, tidakkah di sini adalah satu masalah yang dihadapi perempuan di era ini, mungkin itu tak terjadi dengan saya ataupun anda perempuan-perempuan lainnya yang cerdas dan sukses. Atau melihat seorang perempuan sukses dan harus dihadapkan dengan rumah tangganya yang berantakan.

Yah, perjuangan Kartini terbilang sukses sehingga perempuan dapat bersekolah setinggi-tingginya, bekerja sesukses-suksesnya, berpolitik sevokal-vokalnya, bahkan menjadi presiden. Dan bukan lagi isu baru ketika perempuan mengalami beban ganda, yakni berkarier serta tetap melaksanakan tugas domestik yang disebut-sebut sebagai kodrat perempuan. Dalam beberapa kasus perempuan di atas yang tidak saya (atau perempuan-perempuan di luar sana yang cerdas atau sukses) alami, mungkin suatu anlaogi bahwa perempuan adalah dapur, sumur, dan kasur perlu di-dekontruksi menjadi dapur, sumur, kasur, uang lentur. Beban ganda bahkan di alami di Eropa selepas revolusi industri.

Pertanyaan saya tidakkah Kartini memikirkan adanya beban ganda ketika perempuan telah berhasil memperoleh posisi sama dengan laki-laki. Dari artikel yang pernah saya baca mengapa hal ini terjadi, pertama karena kebijakan pemerintah akan beban ganda tersebut belumlah adil. Bukan bermaksud mengacu pada dunia barat, di Amerika serta Eropa isu beban ganda bagi perempuan memang telah lama menjadi wacana yakni selepas revolusi industri, sehingga sekarang kebijakan untuk isu itu telah dirangkum dalam pemerintahan, misalkan bahwa cuti hamil tidak hanya di berikan oleh pemerintah atau perusahaan kepada perempuan, laki-laki pun jika istrinya hamil memperoleh hak cuti yang sama dan tolensi gaji tidak dipotong karena cuti, bahkan diberi tunjukan untuk hal di atas, juga telah disediakan jasa penitipan anak, serta perusahaan penyedia pekerja rumah tangga yang benar-benar mumpuni.

Apakah kebijakan di atas telah dirancang oleh Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia?? Saya tidak benar-benar tau mengenai hal ini. Lalu kembali tentang penuangan karya perempuan yang berbau feminis. Dan saya berkata kepada diri saya bahwa ilmu-ilmu sosial itu terus berkembang, bersifat pragmatis. Membicarakan tentang perempuan dalam pikiran Kartini memang telah usang, toh seperti penyataan di atas bahwa perjuangan Kartini terbilang sukses, tantangannya apakah benar-benar terhenti sampai disini.. Saya pikir sifat pragmatis memang ada. Dan saya sepaham dengan Aquarini Priyatna Prabasmoro, bahwa feminis bukan hanya milik perempuan, ketika laki-laki telah paham tentang realitas yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, dia telah berpikiran feminis, dan perlu digarisbawahi satu tokoh besar feminisme yang terkenal bernama Jonh Stuart Miil adalah laki-laki.

Jika ada pertanyaan mengapa seniman perempuan ketika melampauhi pernikahan berhenti berkarya, atau seniman perempuan sukses dalam berkarya namun rumah tangganya berantakan, atau seniman perempuan memilih menunda pernikah sampai umur di atas 35 tahun. Apa jawaban dari pertanyaan di atas?? Apakah hanya karena masing-masing person, apakah semua kembali pada diri masing-masing dalam menyikapi, apakah hanya karena pilihan hidupnya, ataukah yang lain, saya tidak punya kuasa untuk menjawab karena hal itu belum saya alami. Yang jelas bagi diri saya pengalan feminis mempunyai satu tujuan yang sederhana, saya mengingankan relasi hidup yang membuat saya nyaman.

Yang saya tahu dunia seni dewasa ini tak terbatas konsep, media, serta teknik untuk merealisasikan sebuah eksekusi ide menjadi karya, jadi sangat sah jika harus membicarakan apapun bentuknya itu bahkan yang ter-justifikasi usang sekalipun, mungkin inilah pencapaian saya, jika saya merasa puas atas eksekusi tersebut, adalah hal yang sah bukan. Dan jika ada pelaku seni di luar diri saya merasa tidak puas dengan hasil pencapaian saya, bukankah anda tahu apa yang bisa memuaskan anda. Mengapa harus resah memikirkan saya. Tentunya saya tetap mengagumi seniman-seniman perempuan yang hebat dalam berkarya. Entah mengusung tema yang terbilang usang atau yang tersebut kekinian.

1 komentar:

pena kosong mengatakan...

yang terpenting menurut saya yang notabene seorang laki - laki dan tentu saja melihat dari sudut pandang dan pikiran seorang lelaki adalah jangan sampai seorang perempuan melupakan kodratnya sebagai wanita hanya dengan alasan kesetaraan gender. disisi lain, saya setuju, sangat setuju malah dengan 'egoisme' anda, mengapa harus memikirkan penilaian orang lain jika karya yang kita buat memuaskan ego kita?
salam kenal, hehe

Posting Komentar

 
;