Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 12 Desember 2010

Kesederhanaan Daya Pikir Saya

Mungkin sederhana saja saya menuturkan alasan ketika pikiran ini condong kepada kesadaran feminis, ternyata setelah sekian lama, sensitifitas atas ketimpangan gender berawal dari suatu relasi pasangan. Waktu itu rasanya muncul sesuatu yang tak nyaman, entah apa sebabnya, setelah membongkar pikiran, sepertinya partner relasi saya baik-baik saja, sangat baik bahkan memperlakukan saya. Lalu apa yang membuat tak nyaman, saya gamang kala itu, seperti berusaha mencari tau tentang diri saya sendiri, akhirnya rasa tak nyaman menumpuk dan meledak tak terarah serta mengancam relasi yang sekian lama saya bangun dengan pasangan, rasa tak nyaman bersama pasangan saya terus bergelayut, setelah ancaman terhadap hubungan kami semakin besar akhirnya menjadi benturan keras yang menerpa saya, dan saya harus kehilangan partner saya. Rasa tak nyaman seketika hilang, namun saya larut dalam kesedihan karena kehilangan, saya merasa tersakiti dan menjadi korban, mantan relasi saya bukan penjahat, sehingga waktu itu saya menarik kesimpulan bahwa ada suatu sistem yang mendesak dirinya dan memposisikan saya sebagai korban. Dari sinilah awal pemikiran feminis saya, bahwa misssistem tersebut adalah ketimpangan sebuah konstruksi gender.

Saya katakan sederhana karena saya tak tersakiti dengan kemapanan sistem karena kepekaan terhadap realitas perempuan dalam sosial. Dari hal sederhana dan cengeng serta mengagungkan romantisme diataslah saya menjadi gigih mencari konsep serta teori yang mumpuni bagi sekelumit pemikiran saya, berbagai macam buku saya lahap dengan tangisan karena realitas yang dituturkan sangat mengerikan dan mengancam integritas makhluk yang berjenis kelamin sama dengan saya. Mungkin jiwa heroik saya seketika muncul dan mendorong kuat keinginan untuk berjuang seperti Kartini, melawan penindasan dan menginginkan persamaan serta menyadarkan perempuan lain yang tak mengerti dengan konsep di atas, agar mata mereka terbuka.
Tapi saya tak turun ke jalan untuk berkoar-koar, hanya mendukung perempuan-perempuan yang menolak rasa malu turun ke jalan demi menyuarakan hak-hak mereka. Saya hanya menunjukkan rasa antipati kepada laki-laki karena mereka adalah subyek dari budaya patriarki, saya menjadi galak, seolah mata mereka adalah ancaman pelecehan terhadap saya. Sampai akhirnya ada sebuah penyataan, bahwa diri saya feminis tapi mengapa masih punya pacar, tambahnya bahwa seharusnya saya bisa hidup sendiri tanpa laki-laki. Saya hanya terdiam, dan tidak mungkin harus menjelaskan panjang lebar tentang teori dan konsep feminisme. Pada titik ini saya menyatakan, I’m not feminist but I hate patriarch.
Ada hal yang membuat saya melakukan dekonstruksi tentang semangat feminisme dalam diri saya, yah pertama, bahwa feminis adalah sebuah pemikiran tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang tidak setara, dan ternyata ada sebuah buku yang melegalkan penyataan saya, bahwa pemikiran feminis bukanlah hanya milik perempuan, ketika laki-laki memahami ketidaksetaan tersebut, dia telah berpikiran feminis, dan mengapa ternjadi pertanyaan seperti yang pernah saya alami, bahwa seorang feminis adalah sosok yang bisa berdiri sendiri tanpa laki-laki, sehingga tidak memerlukan laki-laki, buku tersebut menjawab pengalaman saya yang kontradiktif, bahwa telah terjadi kesalahpaham tentang tujuan feminisme, feminisme yang ditangkap orang awam sebagai paham yang membenci laki-laki, sebagai perempuan radikal, serta perempuan yang melarikan diri dari hegemoni heteronormatifitas. Sebuah penegasan yang saya ikuti kini adalah, bahwa tujuan feminisme adalah menginginkan kesetaraan agar dapat hidup damai, bukan perlawanan terhadap laki-laki. Toh, yang membuat konstruksi menjadi tidak setara adalah sebuah sistem, sehingga yang perlu diluruskan adalah sistem tersebut bukan subyeknya, yaitu laki-laki. Dapat dikatakan bahwa bukan hanya perempuan, namun baik laki-laki maupun perempuan yang tidak paham dengan ketimpangan gender mereka jugalah korban dari budaya patriarki.
Dan kini saya telah berdamai dengan laki-laki, jika saya membenci dan ingin melawan mereka, tidak menutup kemungkin mereka juga melakukan serangan balik kepada saya, atau perempuan-perempuan lain seperti saya. dan terjadilah keadaan tidak damai. Jika hal ini terjadi pertanyaan saya untuk apa?? Saya mencari kenyamanan serta kedamaian. Saya juga menyadari bahwa tiap-tiap perempuan mengalami proses masing-masing dalam memahami keperempuanannya, pertanyaannya.. jika mereka merasa nyaman dan tak bermasalah dengan sistem sosial yang mapan, untuk apa saya berkoar-koar membahasakan penyadaran, pada akhirnya justru terjadi kekacauan antara saya dengan makhluk yang berjenis kelamin sama dengan saya, dan suatu ketika saya menyatakan bahwa saya lebih memilih di-penetrasi sepuluh penis sekaligus dari pada harus menerima pelecehan dari mulut-mulut makhluk yang berjenis kelamin sama dengan saya, lebih menyakitkan.
Tenyata tujuan saya menggali wacana feminis adalah untuk diri saya sendiri, dan bernegosiasi atas diri saya kepada orang-orang yang dekat dengan saya, bahwa inilah pilihan hidup saya. Yang paling krusial adalah untuk mencari relasi hubungan yang pas, nyaman bagi saya. Sederhana saja, kini saya memperoleh tujuan kenyamanan tersebut. Karena saya telah menemukan relasi hidup yang pas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;