Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 26 Februari 2012 0 komentar

Debu, Senyuman dan Segelas Teh Susu Basi (Tragedi di Bulan November)

Satu kecurangan dalam pagi ini


Ternyata telah tersuguh segelas teh susu basi…



Wajar jika pagiku harus kuhajar,

Emosi segera mengadu, bahwa biasanya tersulut sebatang rokok dan segelas teh susu

Selalu di pagi hari..
0 komentar

Vagina



Aku berteriak mengidentifikasi diri…
Akulah vagina,,
Ini adalah publikasi…
Aku vagina…
0 komentar

Ibu yang Lelah



 Ke pasar pagi itu ibu pergi…

Mencoba menengok segelintir keramaian…

Mencoba melepas bau busuk sampah menumpuk

Menjarang kegelisahan jiwa yang selalu terlarang
0 komentar

Mahkota



Saat kulihat tubuh itu menggelinjang…
Pesonanya bak semerbak dedaunan gugur tanpa tertiup angin,
Pasrah jatuh ditanah dengan sejuta kepuasan…

Desah napasnya tercium tanpa sekat
Menyengat,,
Daun-daun kembali gugur…
Seperti yang dikatakan mereka…
Tubuh itu berguguran tanpa mahkota…
0 komentar

Tak Ada yang Rumit



Matanya masih sembab mengeluh

Tak lagi ada tangis atau tawa,

Ia berkata…
0 komentar

Untuk Keindahan



Barangkali aku datang tak bersalam terlebih dahulu…

Seperti seorang pengemis yang berteriak meminta tanpa permisi…

Namun rumahmu menyambut 

Dan menjemput inginku…

Untuk membutuhkanmu
0 komentar

Hipotesa Empiris (Kasih Ibu dan Keingintahuan Seorang Anak)


Sore setelah hujan lebat menyisakan gerimis. Sungai kecil dengan debit air sebatas betis ketika cuaca panas berubah menjadi sedikit santar, air keruh kecoklatan itu membawa sampah-sampah terapung dan hanyut, bahkan diantaranya terdapat bangkai kucing yang telah menggelembung seperti bantal boneka, ikut terhanyut pula. Kini, tinggi air itu sebatas separuh paha orang dewasa, mungkin juga hanya sebatas tujuh senti di atas lutut orang dewasa. Ibu itu bersama anak laki-lakinya dipinggir sungai, namun serasa lebih tepat sungai kecil itu disebut selokan. Ia memakai matel warna cokelat, dekenakannya penutup kepala matel itu, agar terlindung dari rinting-rintik gerimis, anak laki-lakinya yang berumur sekitar 11 tahun telanjang dada dan bercelana pendek tanpa alas kaki, ia terdiam mendengarkan ocehan ibunya.

“ Banyune ki gede, isih arep nyemplung?? “ Dalam bahasa jawa ibu itu berceloteh kepada anaknya. (Airnya besar, masih mau nyebur??)
0 komentar

Kisah Sang Singa Betina

#1
Aku tak lebih baik dari seekor babi, rakus, dan berhasrat liar melepas dahaga dalam pelukan babi-babi yang lain, tak peduli lawan ataupun sejenis. Entah apa yang membuat hasratku waktu itu menggelegar liar, yang ku tahu, aku enggan dan sama sekali tak ada ingin untuk meninggalkanmu, aku sungguh menginginkanmu selamanya. 

Aku seperti berada dalam lingkaran setan, serasa bahagia namun tersiksa, lalu menghancurkanku, berkeping-keping. Kau kekasihku saat aku benar-benar lugu, dan keliaranku datang memisahkan dirimu dariku tanpa inginku. Sungguh masih lugu kala kau mengajariku mencicipi arti cinta dan dosa. Lalu dosa itu mengusikku, menumpuk dan menenggelamkanku dalam jiwa terpuruk, hingga apa arti dosa, hilang sudah di atas kesadaran jiwa.

Titik, entah apa seketika tiba, sungguh dingin pelukanmu, tak berasa. Aku lari, lari ke dalam sesuatu yang hangat dan nyaman serasa di diri, dan aku tiba-tiba menjadi seekor babi, memeluk babi-babi lain dalam hasrat rasa nyaman yang kucari. Sangat sadar aku menyakitimu dalam ke-babi-an ku. Babi-babi lawan jenis itu memberi selimut hangat, namun sama sekali aku tak mengiginkannya untuk menemaniku hidup, hanya kamu inginku.
0 komentar

Senyum Payah

Sore itu senyummu bergoyang payah..
Kulihat begitu kalah
Untuk merayuku …
0 komentar

Sejenak Berkepompong



Lembar kertas kosong dan melulu berisik suara anjing yang terus menggonggong…
Kelu dan tak bernafas,
Sedikit sesak menyeka kertas yang ternyata tetaplah kosong…
Apa hendak yang kutulis,
Nampaknya aku habis dengan suara anjing yang serak berteriak…
Sabtu, 18 Februari 2012 0 komentar

KERAMIK DALAM FLANEL


Dalam diam Radam terus saja berdo'a, dalam diam Radam tak hentinya mengerjakan hal penuh manfaat, dalam diam Radam menunggu kematiannya.

 Dalam diam Radam tak pernah tidur, menemui mimpi yang menawarkan dunia ilusi. Dalam gerak, dan pasti itu malam hari, Radam memandangi surga dunianya, malaikat penyemangat hidupnya, sedang terlelap menemui mimpi, Radam enggan kehilangan sedikit waktu hanya untuk memandanginya. Memandangi wajah flanel yang membungkus guci, itulah Reyfo, gadis surga dunianya, ia anggap gadisnya lembut selembut flanel, tapi sangat rentan, terjatuh saja, akan pecah berkeping-keping bagai guci. Tak ada siapa pun lagi di dunia ini, selain Reyfo, gadisnya berusia 6 tahun. Radam terlanjur tersingkir, jauh dan sangat jauh dari dunianya sendiri. Dari dunia manusia.

Alangkah indahnya ilusi, dunia yang sanggup membuainya, merasa dihargai, merasa berarti dan merasa manusia, sebenarnya Radam ingin tidur lelap untuk terus bermimpi, berharap tak terbangun lagi bahkan. Karena dunianya yang nyata tidak menggangapnya manusia sebagai manusia. Radam terlanjur tersingkir, tak dianggap ada, mayat hidup, manusia tak berguna.
Jumat, 03 Februari 2012 0 komentar

(Karya Audio Visual) Film sebagai Karya Seni

“Aku menyesal selama ini hanya belajar teknis hingga aku kurang bisa menyusun konsep untuk menciptakan karya (baca. karya audio visual)”. Statement dari salah satu teman saya.

Saya dan teman-teman saya juga teman saya dia atas sama-sama masih belajar di ranah audio visual ini. Ada sesuatu yang tergerak untuk saya deskripsikan, mungkin juga berusaha berpikir analitik untuk menanggapi statement salah satu teman belajar saya di atas. Teman saya tersebut, termasuk saya sempat terjebak dalam diskusi pembahasan “gaya” film. Sebagai sutradara harus mempunyai gaya dalam mentransformasikan teks ke dalam visual. Mungkin bagi saya, diksi “gaya” dalam film ini sedikit rumit.

Saya teringat kata-kata sesorang yang inspiratif, “Sebuah kaleng dapat dikemas oleh orang yang berbeda dengan teknik artistik yang menjadikannya sama-sama indah, tapi menilik siapa orang tersebut yang akan berbeda menyelipkan sesuatu yang tak terlihat di dalam kaleng sehingga beratnya menjadi tak sama jika dilempar ke kepala kita.”
 
;