Tweet |
Sore setelah hujan
lebat menyisakan gerimis. Sungai kecil dengan debit air sebatas betis ketika
cuaca panas berubah menjadi sedikit santar, air keruh kecoklatan itu membawa
sampah-sampah terapung dan hanyut, bahkan diantaranya terdapat bangkai kucing
yang telah menggelembung seperti bantal boneka, ikut terhanyut pula. Kini,
tinggi air itu sebatas separuh paha orang dewasa, mungkin juga hanya sebatas
tujuh senti di atas lutut orang dewasa. Ibu itu bersama anak laki-lakinya
dipinggir sungai, namun serasa lebih tepat sungai kecil itu disebut selokan. Ia
memakai matel warna cokelat, dekenakannya penutup kepala matel itu, agar
terlindung dari rinting-rintik gerimis, anak laki-lakinya yang berumur sekitar
11 tahun telanjang dada dan bercelana pendek tanpa alas kaki, ia terdiam
mendengarkan ocehan ibunya.
“
Banyune ki gede, isih arep nyemplung?? “ Dalam bahasa jawa ibu itu
berceloteh kepada anaknya. (Airnya besar,
masih mau nyebur??)
Sementara sang anak tak
sedikitpun membuka mulut, terdiam sambil melihat air sungai. Ia penasaran ingin
menyeburkan badan kecilnya, segera.
“
Deloken kae, sampahe do kintir, ne kowe menko kintir piye?? ” Ibu itu
menakut-nakuti sang anak. (Lihat itu,
sampahnya semua hanyut, kalau kamu ikut hanyut bagaimana?)
Anak laki-laki yang masih kecil
tak bergeming melihati sampah-sampah yang terhanyut, juga masih terdiam tak
melontarkan sedikit kata-kata kepada ibunya.
“
Yowis kono gek ndang nyemplung, mengko ne kintir ra sah njaluk tolong!” Dengan nada kesal,
Ibu menyuruh anaknya mencebur ke sungai. (Ya
sudah cepat mencebur sana, nanti kalau hanyut jangan minta tolong!)
Sang anak berjalan mengikuti
arah air, mencari tempat yang lebih landai untuk turun ke sungai. Ibu itu
mengikuti dari belakang. Ibu berjalan sambil bergumam.
“ Ne
ngeyel, gek ndang nyemplung wae, ben kintir, mengko tak cegat neng jembatan
kono. ” Ibu mencoba menyindir anak dengan gumaman-gumaman itu. (Kalau bersikeras, cepat mencebur saja, biar
terhanyut, nanti Ibu tunggu di jembatan sana.)
Seolah telinga anak kebal
dengan beragam ocehan, ia tetap berjalan dan sampai pada DAM kecil yang
dibangun dari semen. Ia mulai menuruni DAM kecil yang tergenang air.
“
Yowis yo, tenanan bar iki kowe kintir, terus rasah njaluk tolong, tak deloki
teko kene.” Ibu
semakin menakut-nakuti sang anak dengan kalimat menyindir. (Ya sudah, habis ini kamu hanyut trus kalau hanyut tidak perlu minta
tolong, Ibu lihat dari sini saja.)
Anak laki-laki itu benar-benar
menceburkan badannya ke sungai, ia tak lagi peduli dengan ibunya yang berdiri
ditepi. Hujan benar-benar terhenti, penutup kepala sang ibu dilepasnya, ia
Melihati anaknya yang asyik bermain air keruh. ibu itu mengambil ponsel dari
saku celananya, matanya tertuju pada monitor ponsel, jari-jari tangannya mulai
sibuk mengetik. Ia menoleh ke belakang dan melontarkan kalimat yang menyindir
anaknya kepada bapak yang berada di depan rumah pinggir sungai kecil itu.
“ Pak
menko ne anakku kintir rasah ditulungi yo, ben wae kintir sampe parangtritis.” (pak nanti kalau anakku hanyut tidak perlu
ditolong, biar saja dia terhanyut sampai pantai parangtritis)
Rupanya sindiran ibunya tak
membuat si anak gentar, keasyikannya bermain air terus dinikmati, sambil
tersenyum dan bangga. Dan, ibu semakin kesal, dilontarkannya gurauan yang
menyindir sang anak.
“
Goleki neng isor kali sopo ngerti ono hape, mengko dikeke ibu yo!” ibu berkata sambil
sibuk mengetik pada keypad ponselnya. (Cari
di bawah sungai ya siapa tahu kamu menemukan handphone!)
Sambil tak berkata apapun anak
itu naik dari air.
“ Ne
wis ayo bali!”
sambil berjalan menuju arah rumah mereka. (Kalau
sudah ayo pulang!)
“ Pak
wangsul rumiyen, tibake anak kulo mboten kintir.” Ibu itu pamit kepada bapak
yang berada di depan rumah tadi. (Pak
pamit pulang dulu, ternyata anak saya tidak jadi hanyut)
“Monggo buk.” Jawab seorang
Bapak itu sambil tersenyum dan sedikit menunjukkan raut kebingungan pada Ibu
itu. (Silahkan Bu.)
Ibu dan anak berjalan
berdampingan, sambil berjalan, tiba-tiba si anak berkata pada ibunya.
“ Buk
aku nemu hape terus tibake aku ra kintir, gedene banyune muk sak dodo ku.” Kata si anak dengan
nada acuh. ( Bu, saya menemukan handphone
dan ternyata saya tidak hanyut, airnya cuma sebatas dada.)
Dengan serius sang ibu
menimpali omongan anaknya. “ Ho’o po?? Ndi hapene?”
Sang anak menjawab. “ Ne misale nemu hape wis keceplong kali,
mati, gelem po?” (Kalau misalnya menemukan handphone yang tercebur sungai terus
handphone-nya mati,
Ibu mau?)
Sang ibu tersenyum pasi
mendengar anaknya, mereka terus berjalan pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar