Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 26 Februari 2012

Hipotesa Empiris (Kasih Ibu dan Keingintahuan Seorang Anak)


Sore setelah hujan lebat menyisakan gerimis. Sungai kecil dengan debit air sebatas betis ketika cuaca panas berubah menjadi sedikit santar, air keruh kecoklatan itu membawa sampah-sampah terapung dan hanyut, bahkan diantaranya terdapat bangkai kucing yang telah menggelembung seperti bantal boneka, ikut terhanyut pula. Kini, tinggi air itu sebatas separuh paha orang dewasa, mungkin juga hanya sebatas tujuh senti di atas lutut orang dewasa. Ibu itu bersama anak laki-lakinya dipinggir sungai, namun serasa lebih tepat sungai kecil itu disebut selokan. Ia memakai matel warna cokelat, dekenakannya penutup kepala matel itu, agar terlindung dari rinting-rintik gerimis, anak laki-lakinya yang berumur sekitar 11 tahun telanjang dada dan bercelana pendek tanpa alas kaki, ia terdiam mendengarkan ocehan ibunya.

“ Banyune ki gede, isih arep nyemplung?? “ Dalam bahasa jawa ibu itu berceloteh kepada anaknya. (Airnya besar, masih mau nyebur??)

Sementara sang anak tak sedikitpun membuka mulut, terdiam sambil melihat air sungai. Ia penasaran ingin menyeburkan badan kecilnya, segera.

“ Deloken kae, sampahe do kintir, ne kowe menko kintir piye?? ” Ibu itu menakut-nakuti sang anak. (Lihat itu, sampahnya semua hanyut, kalau kamu ikut hanyut bagaimana?)

Anak laki-laki yang masih kecil tak bergeming melihati sampah-sampah yang terhanyut, juga masih terdiam tak melontarkan sedikit kata-kata kepada ibunya.

“ Yowis kono gek ndang nyemplung, mengko ne kintir ra sah njaluk tolong!” Dengan nada kesal, Ibu menyuruh anaknya mencebur ke sungai. (Ya sudah cepat mencebur sana, nanti kalau hanyut jangan minta tolong!)

Sang anak berjalan mengikuti arah air, mencari tempat yang lebih landai untuk turun ke sungai. Ibu itu mengikuti dari belakang. Ibu berjalan sambil bergumam.

“ Ne ngeyel, gek ndang nyemplung wae, ben kintir, mengko tak cegat neng jembatan kono. ”  Ibu mencoba menyindir anak  dengan gumaman-gumaman itu. (Kalau bersikeras, cepat mencebur saja, biar terhanyut, nanti Ibu tunggu di jembatan sana.)

Seolah telinga anak kebal dengan beragam ocehan, ia tetap berjalan dan sampai pada DAM kecil yang dibangun dari semen. Ia mulai menuruni DAM kecil yang tergenang air.

“ Yowis yo, tenanan bar iki kowe kintir, terus rasah njaluk tolong, tak deloki teko kene.” Ibu semakin menakut-nakuti sang anak dengan kalimat menyindir. (Ya sudah, habis ini kamu hanyut trus kalau hanyut tidak perlu minta tolong, Ibu lihat dari sini saja.)

Anak laki-laki itu benar-benar menceburkan badannya ke sungai, ia tak lagi peduli dengan ibunya yang berdiri ditepi. Hujan benar-benar terhenti, penutup kepala sang ibu dilepasnya, ia Melihati anaknya yang asyik bermain air keruh. ibu itu mengambil ponsel dari saku celananya, matanya tertuju pada monitor ponsel, jari-jari tangannya mulai sibuk mengetik. Ia menoleh ke belakang dan melontarkan kalimat yang menyindir anaknya kepada bapak yang berada di depan rumah pinggir sungai kecil itu.

“ Pak menko ne anakku kintir rasah ditulungi yo, ben wae kintir sampe parangtritis.” (pak nanti kalau anakku hanyut tidak perlu ditolong, biar saja dia terhanyut sampai pantai parangtritis)

Rupanya sindiran ibunya tak membuat si anak gentar, keasyikannya bermain air terus dinikmati, sambil tersenyum dan bangga. Dan, ibu semakin kesal, dilontarkannya gurauan yang menyindir sang anak.

“ Goleki neng isor kali sopo ngerti ono hape, mengko dikeke ibu yo!” ibu berkata sambil sibuk mengetik pada keypad ponselnya. (Cari di bawah sungai ya siapa tahu kamu menemukan handphone!)

Sambil tak berkata apapun anak itu naik dari air.

“ Ne wis ayo bali!” sambil berjalan menuju arah rumah mereka. (Kalau sudah ayo pulang!)

“ Pak wangsul rumiyen, tibake anak kulo mboten kintir.” Ibu itu pamit kepada bapak yang berada di depan rumah tadi. (Pak pamit pulang dulu, ternyata anak saya tidak jadi hanyut)

“Monggo buk.” Jawab seorang Bapak itu sambil tersenyum dan sedikit menunjukkan raut kebingungan pada Ibu itu. (Silahkan Bu.)

Ibu dan anak berjalan berdampingan, sambil berjalan, tiba-tiba si anak berkata pada ibunya.

“ Buk aku nemu hape terus tibake aku ra kintir, gedene banyune muk sak dodo ku.” Kata si anak dengan nada acuh. ( Bu, saya menemukan handphone dan ternyata saya tidak hanyut, airnya cuma sebatas dada.)

Dengan serius sang ibu menimpali omongan anaknya. “ Ho’o po?? Ndi hapene?”

Sang anak menjawab. “ Ne misale nemu hape wis keceplong kali, mati, gelem po?” (Kalau misalnya menemukan handphone yang tercebur sungai terus handphone-nya mati, Ibu mau?)

Sang ibu tersenyum pasi mendengar anaknya, mereka terus berjalan pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;