Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 12 Desember 2010

Sebuah Mesin dalam Autobiografi

“’Aku’ ini adalah, dapat dikatakan, jiwa, yang dengannya aku menjadi aku, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan tubuh”
“Aku menyadari diriku sendiri, pertama-tama, karena ia memiliki sebuah wajah, tangan, lengan dan seluruh mesin yang dibuat dari daging dan tulang, sama seperti terlihat pada seonggok mayat, dan yang saya tunjuk dengan nama tubuh.”

(Rene Descartes)


Membaca hipotesa Rene Descartes di atas, seketika terngiang di otak saya bahwa tubuh ini memang seperti sebuah mesin, Descartes menambahkan bahwa ‘aturan-aturan mekanika’ pada hakikatnya adalah ‘aturan-aturan alam’. Saya semakin sependapat dengan Descartes, ketika saya tahu bagian dari tubuh ini dalah mesin pencetak sesuatu yang kasat, saya menjadi bangga karena hal tersebut tak dimiliki manusia yang berbeda jenis kelamin dengan diri saya. Tapi kadangkala saya merasa sedih jika hanya dilihat sebagai sebuah mesin serta beberapa fungsi dominannya saja. Saya berharap mereka tak lupa bahwa saya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, yakni tubuh dan jiwa, jiwa yang tak dapat dijelaskan dengan aturan-aturan mekanika. Saya tidak benci dengan realitas alat pencetak itu, karena merupakan identitas alami saya, kadang kala saya hanya merasa kecil dan sedikit tersingkir dengan realitas sosialnya, stigma, stereotype, dan entah apalagi namanya yang membingungkan. Yah, sebuah mesin pencetak itu adalah metafora sebutan saya atas nama alat reproduksi.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, autobiografi memiliki arti kisah hidup yang dituturkan oleh diri sendiri. Genre awal autobiografi merupakan tulisan yang “mem-pahlawan-kan” sang penulis/narator. Proses, pengalaman serta sejarah hidup kita dapat dirangkumkan dalam sebuah autobiografi. Meski selama ini autobiografi hanya dilegalkan bagi mereka yang dianggap telah menunjukan pencapaian publik. Sepertinya memang logis jika saya menuturkan kisah hidup saya, siapa yang peduli, karena saya bukanlah siapa-siapa, namun saya mencoba menuturkan proses serta pengalaman yang saya rasakan dengan tindak autobiografis dalam bentuk apapun yang dapat di-apresiasi oranglain, entah dapat dibilang narsisme atau terlalu percaya diri, tetapi satu tujuan saya, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup saya sendiri. Meski seluruhnya tak indah, saya berusaha ber-negosiasi dengan kata malu untuk menerima semua hal yang buruk, membuat saya marah, menekan saya, agar tak semuanya ter-represi ke alam bawah sadar, yang bisa membuat saya menjadi penderita neurosis, jika resistensi neurotik saya lemah.
Tindak autobiografis ini saya katakan sebagai penuturan apa yang saya rasakan, kemarahan terpendam yang muncul dalam menyikapi kenyataan diri saya pada sebuah konstruksi social budaya. Seingat saya, waktu saya baru mengetahui diri ini sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan, ketika ibu saya bilang bahwa saya mempunyai vagina, realitas itu yang membedakan dengan manusia yang berbeda jenis kelamin dengan saya. Seiring dengan tumbuhnya tubuh saya, perbedaan itu semakin jelas, ada beberapa bagian tubuh yang mulai muncul, saya hanya terdiam, namun ternyata saya tak bisa tinggal diam dengan kenyataan serta perlakuan manusia di luar sana dalam menanggapi realitas diri saya dan juga manusia lain yang berjenis kelamin sama dengan saya. Pada akhirnya, atas nama hegemoni realitas sosial identitas alami inilah saya marah dan bertutur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;