Tweet |
Mulutnya
tak henti-henti tersumpal kata serapah, menghinaku atas kesalahanku dan
dirinya. Ini bukan sebuah kesalahan, bukan pula kenistaan, bukan juga kekeliruan besar. Aku berpikir benar, hamil
tiba-tiba, bertindak lebih dari tiba-tiba. Inilah satu penawaran tepat. Memilih
masa depan atau bunuh diri.
“Kau
itu pelacur, lebih bahkan, karena jiwamu tersemat ribuan muntahan tai babi!”
“Kau
itu perempuan keji, kau bahkan tak ubahnya tukang tenung yang haus rintihan
nyawa orang-orang.”
“Kau
bangsat, bajingan, pelacur.”
Aku
tersenyum pasi, tak henti kata-kata itu terlontar, senyumku tak sanggup
menyumpalnya. Tapi aku punya daya. Ku tampar saja mulut itu tiba-tiba. Ada satu
celah, segera kutawar agar tamparanku merasuk di pusat saraf kekuatan
kata-katanya.
“He...
bangsat, ini hidupku. Kalau kau tak setuju denganku, silahkan bungkam dan diam
lalu pergi dari sini.”
“Perempuan
tak tahu malu, sudah syukur aku mempersembahkan tanggung jawab untuk janin yang
mengganggu perutmu. Tapi kau memang perempuan gila.”
Segila
dunia tempat kita berdiri, sebenarnya inilah wujud rasa iriku. Kau bergelantung
sementara aku terkebiri. Kau bebas menuai hasrat sementara dengan susah payah
aku berusaha menutupi.
“Dan
aku tak penah sekalipun memintamu untuk bertanggungjawab atas hidupku.” timpalku lagi.
“Perempuan
tidak wajar dan tak waras.”
“Pertama
kali kutawarkan sebuah komitmen itu, kau setuju. Aku hanya minta sebuah
tanggujawabmu dan itupun akan kita pikul bersama.”
“Aborsi?” Ia sangat geram.
“Yah,
atau bunuh diri.”
Ia
menganggap gencatan invasiku adalah ancaman. Bukan, ini hanya sebuah pilihan.
Aku punya masa depan pun dirimu. Tapi pertengakaran kita di ruangan ini tersulut
pilihan yang saling menyalahkan. Lebih, dirimu menyalahkan keberadaanku.
Pilihanku. Integritasku. Eksekusiku.
Aku
hanya ingin hidup, perjalanan ini masih sangat panjang, tapi tidak dengan tumbuhnya janin ini. Karena jalan panjang itu akan segera
terbunuh. Oleh janin ini, oleh ulahmu dan oleh ulahku. Oleh kebodohan.
Aku
tak mau membunuh perjalanan, membunuh waktu, dan karenanya segera akan kubunuh,
janin ku juga janinmu, janin kita.
***
Sepuluh
malam sudah berlalu, keinginan ini semakin kuat, memilih masa depan atau bunuh
diri. Aku larut pada kepastianku. Hanya saja ia pergi saat malam itu juga,
membawa sisa niatku untuk diurungkannya. Aku bisa tapi sudah kubilang inilah
wujud tanggungjawab kita, berdua, menaggungnya berdua.
Dan
pergimu itu benar-benar membawa separuh niatku, meraibkan separuh
tanggungjawab. Kau datang lagi merayuku.
“Kau
memang pelacur, tapi aku punya hati. Menikahlah denganku.”
Aku
tak bergeming, itulah bunuh diriku. Menikah saat ini. Berkali-kali hingga bosan
aku mengatakan, masih sangat panjang perjalanan ini.
“Sudahlah
aku tak peduli, lari saja dengan separuh tanggungjawabmu,” Pintaku sangat keras.
Malam
kespuluh tetap bernuansa sama, kelam tak ada jawaban pasti.
***
Aku
mengetuk pintu, meminta sepenggal hutang untuk tanggungjawab yang harus segera
kurampungkan, atau waktu akan membunuh diriku. Tak ada jawaban pasti. Kuketuk pintu
lagi dan tetap sama. Lagi dan lagi kugedor pintu baja. Aku berhasil, besok eksekusi
dan sebuah jawaban pasti menanti.
***
Serba
putih, aku dan perempuan lain berjajar menunggu giliran, dan ini adalah bayaran
mahal untuk masa depan. Sudah kubuang jauh-jauh separuh tanggungjawab, dan kini
kupikulnya sendiri. Perutku sedikit mulas, suntikan yang baru saja dipaksa
memenetrasi tubuhku mulai bereaksi. Aku kantuk teramat dalam, entah apa cairan
yang sengaja dimasukkan dalam tubuhku, kata perempuan disebelahku yang mengaku
dua kali datang kemari, akan aman saja. Tak ada rasa sakit sekalipun. Ia mampu
bangkit, pulang seorang diri setelah eksekusi usai. Ia sanggup bergoyang
semalam di bawah lampu disko gelap terang setelah eksekusi ini. Aku yakin
itu terjadi padaku.
Kantuk
teramat dalam, aku menunggu satu jam, bersama cadangan celana dalam dan sebuah
pembalut malam hari tebal. Akhirnya tibalah giliranku, kain hijau kukenakan,
celana dalam kulepas, aku terbaring. Tiga lelaki itu merayuku dengan obrolan
sambil menyuntikan obat anestesi. Semua menjadi gelap hilang dari pandangan.
Aku
terbangun di ruangan lain, matras berjajar di lantai, di samping kiri dan kananku
berjajar perempuan-perempuan, aku tersentak tangan seorang perempuan
yang menggoncangku keras. Aku dipaksa bangun dan disuguhkan segelas susu serta
mie goreng telur mata sapi. Memang sedikitpun tak terasa apa-apa, rasa sakit
netral, rasa sakit yang hilang entah kemana. Aku minta darah ku juga darahnya yang bersatu padu
dalam rahimku. Kusimpan dalam botol kaca. Bunuh diri itu telah sirna, bunuh
diri yang menyerang perjalanan panjangku telah tersungkur menjadi darah merah
dalam botolku, lalu kubawa pulang.
***
Lega
juga rasanya kupandangi botol ini, darah dengan gumpalan-gumpalan merah marun.
Kusajikan di depannya, aku tak butuh lagi separuh taggungjawabnya, karena kini
pilihan itu bukan bunuh diri, tapi masa depan. Sangat lega, tidak dengannya.
Ia
marah, mendorongku, menganggapku gila.
“Silahkan
saja pergi jika kau tak suka caraku.” Sebuah tangkisan atas kegilaan yang ditujukan padaku.
“Bunuh
diri telah lenyap, ini adalah artefak masa depan yang terselamatkan.” Aku pasti bersuara keji ini.
“Kau
benar-benar gila.”
“Aku
bukan gila, tapi inilah wujud pilihan nyata.” Lagi-lagi kutangkis kata-katanya.
“Mungkin
aku iri denganmu karena aku tak punya penis, aku terkebiri, aku bisa hamil yang
mengancam masa depanku, tidak seperti dirimu.” Tambahku dengan gumam tak teredam.
Rasa
cintanya hilang katanya, rasa cinta terhadapku, rasa cinta yang ia bawa lari
bersama separuh tanggungjawab, tangan itu mendorongku, menamparku. Sakit,
semakin sakit tiba-tiba terasa dari perut bawahku, darah itu keluar dengan
ketersungkuranku. Aku selamat, eksekusi ini, pilihan masa depan ini, tapi semua
gelap, aku tak bunuh diri namun gelap, sakit, darah semakin deras menyembur
dari kemaluanku, ternyata aku segera mati.
Masa
depanku. Mati, bersama raga atas eksekusinya. Masa depan ku, pilihanku,
eksekusiku atas masa depan sirna, kelam. Bersama ruhku yang segera melayang
menggembara di alam astral, alam yang
tak dapat dibayangkan oleh dualisme dunia yang aneh ini. Genggamlah
cita-citaku untuk meraih masa depan, dari seorang makhluk terkebiri. Karena kini aku adalah makhluk mati.
Yogyakarta,
jum,at 16 Desember 2011
02,15
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar