Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 04 Maret 2012

Aborsi Investasi

Aku lebih memilih masa depan atau bunuh diri...

Mulutnya tak henti-henti tersumpal kata serapah, menghinaku atas kesalahanku dan dirinya. Ini bukan sebuah kesalahan, bukan pula kenistaan, bukan juga  kekeliruan besar. Aku berpikir benar, hamil tiba-tiba, bertindak lebih dari tiba-tiba. Inilah satu penawaran tepat. Memilih masa depan atau bunuh diri.

“Kau itu pelacur, lebih bahkan, karena jiwamu tersemat ribuan muntahan tai babi!”

“Kau itu perempuan keji, kau bahkan tak ubahnya tukang tenung yang haus rintihan nyawa orang-orang.”

“Kau bangsat, bajingan, pelacur.”

Aku tersenyum pasi, tak henti kata-kata itu terlontar, senyumku tak sanggup menyumpalnya. Tapi aku punya daya. Ku tampar saja mulut itu tiba-tiba. Ada satu celah, segera kutawar agar tamparanku merasuk di pusat saraf kekuatan kata-katanya.

“He... bangsat, ini hidupku. Kalau kau tak setuju denganku, silahkan bungkam dan diam lalu pergi dari sini.”

“Perempuan tak tahu malu, sudah syukur aku mempersembahkan tanggung jawab untuk janin yang mengganggu perutmu. Tapi kau memang perempuan gila.”

Segila dunia tempat kita berdiri, sebenarnya inilah wujud rasa iriku. Kau bergelantung sementara aku terkebiri. Kau bebas menuai hasrat sementara dengan susah payah aku berusaha menutupi.

“Sudah kubilang dari awal aku takut hamil.”

“Dan aku tak penah sekalipun memintamu untuk bertanggungjawab atas hidupku.” timpalku lagi.

“Perempuan tidak wajar dan tak waras.”

“Pertama kali kutawarkan sebuah komitmen itu, kau setuju. Aku hanya minta sebuah tanggujawabmu dan itupun akan kita pikul bersama.”

“Aborsi?” Ia sangat geram.

“Yah, atau bunuh diri.”

Ia menganggap gencatan invasiku adalah ancaman. Bukan, ini hanya sebuah pilihan. Aku punya masa depan pun dirimu. Tapi pertengakaran kita di ruangan ini tersulut pilihan yang saling menyalahkan. Lebih, dirimu menyalahkan keberadaanku. Pilihanku. Integritasku. Eksekusiku.

Aku hanya ingin hidup, perjalanan ini masih sangat panjang, tapi tidak dengan tumbuhnya janin ini. Karena jalan panjang itu akan segera terbunuh. Oleh janin ini, oleh ulahmu dan oleh ulahku. Oleh kebodohan.

Aku tak mau membunuh perjalanan, membunuh waktu, dan karenanya segera akan kubunuh, janin ku juga janinmu, janin kita. 

***

Sepuluh malam sudah berlalu, keinginan ini semakin kuat, memilih masa depan atau bunuh diri. Aku larut pada kepastianku. Hanya saja ia pergi saat malam itu juga, membawa sisa niatku untuk diurungkannya. Aku bisa tapi sudah kubilang inilah wujud tanggungjawab kita, berdua, menaggungnya berdua.

Dan pergimu itu benar-benar membawa separuh niatku, meraibkan separuh tanggungjawab. Kau datang lagi merayuku.

“Kau memang pelacur, tapi aku punya hati. Menikahlah denganku.”

Aku tak bergeming, itulah bunuh diriku. Menikah saat ini. Berkali-kali hingga bosan aku mengatakan, masih sangat panjang perjalanan ini.

“Sudahlah aku tak peduli, lari saja dengan separuh tanggungjawabmu,” Pintaku sangat keras.

Malam kespuluh tetap bernuansa sama, kelam tak ada jawaban pasti.

***

Aku mengetuk pintu, meminta sepenggal hutang untuk tanggungjawab yang harus segera kurampungkan, atau waktu akan membunuh diriku. Tak ada jawaban pasti. Kuketuk pintu lagi dan tetap sama. Lagi dan lagi kugedor pintu baja. Aku berhasil, besok eksekusi dan sebuah jawaban pasti menanti.

***

Serba putih, aku dan perempuan lain berjajar menunggu giliran, dan ini adalah bayaran mahal untuk masa depan. Sudah kubuang jauh-jauh separuh tanggungjawab, dan kini kupikulnya sendiri. Perutku sedikit mulas, suntikan yang baru saja dipaksa memenetrasi tubuhku mulai bereaksi. Aku kantuk teramat dalam, entah apa cairan yang sengaja dimasukkan dalam tubuhku, kata perempuan disebelahku yang mengaku dua kali datang kemari, akan aman saja. Tak ada rasa sakit sekalipun. Ia mampu bangkit, pulang seorang diri setelah eksekusi usai. Ia sanggup bergoyang semalam di bawah lampu disko gelap terang setelah eksekusi ini. Aku yakin itu terjadi padaku.

Kantuk teramat dalam, aku menunggu satu jam, bersama cadangan celana dalam dan sebuah pembalut malam hari tebal. Akhirnya tibalah giliranku, kain hijau kukenakan, celana dalam kulepas, aku terbaring. Tiga lelaki itu merayuku dengan obrolan sambil menyuntikan obat anestesi. Semua menjadi gelap hilang dari pandangan.

Aku terbangun di ruangan lain, matras berjajar di lantai, di samping kiri dan kananku berjajar perempuan-perempuan, aku tersentak tangan seorang perempuan yang menggoncangku keras. Aku dipaksa bangun dan disuguhkan segelas susu serta mie goreng telur mata sapi. Memang sedikitpun tak terasa apa-apa, rasa sakit netral, rasa sakit yang hilang entah kemana. Aku minta darah ku juga darahnya yang bersatu padu dalam rahimku. Kusimpan dalam botol kaca. Bunuh diri itu telah sirna, bunuh diri yang menyerang perjalanan panjangku telah tersungkur menjadi darah merah dalam botolku, lalu kubawa pulang.

***

Lega juga rasanya kupandangi botol ini, darah dengan gumpalan-gumpalan merah marun. Kusajikan di depannya, aku tak butuh lagi separuh taggungjawabnya, karena kini pilihan itu bukan bunuh diri, tapi masa depan. Sangat lega, tidak dengannya.

Ia marah, mendorongku, menganggapku gila.

“Silahkan saja pergi jika kau tak suka caraku.” Sebuah tangkisan atas kegilaan yang ditujukan padaku.

“Bunuh diri telah lenyap, ini adalah artefak masa depan yang terselamatkan.” Aku pasti bersuara keji ini.

“Kau benar-benar gila.”

“Aku bukan gila, tapi inilah wujud pilihan nyata.” Lagi-lagi kutangkis kata-katanya.

“Mungkin aku iri denganmu karena aku tak punya penis, aku terkebiri, aku bisa hamil yang mengancam masa depanku, tidak seperti dirimu.” Tambahku dengan gumam tak teredam.

Rasa cintanya hilang katanya, rasa cinta terhadapku, rasa cinta yang ia bawa lari bersama separuh tanggungjawab, tangan itu mendorongku, menamparku. Sakit, semakin sakit tiba-tiba terasa dari perut bawahku, darah itu keluar dengan ketersungkuranku. Aku selamat, eksekusi ini, pilihan masa depan ini, tapi semua gelap, aku tak bunuh diri namun gelap, sakit, darah semakin deras menyembur dari kemaluanku, ternyata aku segera mati.

Masa depanku. Mati, bersama raga atas eksekusinya. Masa depan ku, pilihanku, eksekusiku atas masa depan sirna, kelam. Bersama ruhku yang segera melayang menggembara di alam astral, alam yang  tak dapat dibayangkan oleh dualisme dunia yang aneh ini. Genggamlah cita-citaku untuk meraih masa depan, dari seorang makhluk terkebiri. Karena kini aku adalah makhluk mati.



Yogyakarta, jum,at 16 Desember 2011
02,15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;