Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Sabtu, 08 Januari 2011

Tanggapan Saya Tentang Misogini dan Perjuangan Perempuan

Saya pernah merangkum tentang misogisme dari beberapa buku yang membahas lahirnya budaya patriarkhi dan meneguhkan hipotesa gender yang pada akhirnya menciptakan sebuah konvensi sosial atas dualisme. Mungkin secara garis besarnya seperti ini…


Membaca Awal Terciptanya Budaya Patriarkhi Sejak Jaman Komunal Primitif

Dalam buku Beyond Power, yang ditulis oleh Marilyn French (1986).
Dunia yang dimulai kurang lebih 4500 juta tahun yang lalu, hanya 8 juta tahun yang lalu dihidupi binatang, dan baru 4 sampai 5 juta tahun yang lalu dihidupi manusia jenis monyet. Manusia ini digambarkan sebagai manusia seperti monyet yang berjalan di atas dua kaki dan memiliki otak kecil. Makhluk ini bertahan sampai satu setengah juta tahun. Pada berjuta-juta tahun kemudian ber-evolusi makhluk-makhluk lainnya, sampai kemudian bertahan makhluk yang terakhir karena adanya survival of the fittest (pertahanan makhluk yang terbaik).


Berbeda debgan kitab-kitab suci besar yang menyatakan bahwa pada awalnya adalah manusia (In the beginning there was the Mother). Spesies primata dan segala jenis binatang mamalia membentuk lingkaran inti sosialnya lewat hubungan ibu dan anaknya. Organisasi sosial seperti itu disebut matrifokal atau matrisentris. Matrisentris dan matrifokal berbeda dengan matriarkhal, yakni dimana perempuan yang berkuasa kebalikan dari patriarkhal dimana laki-laki yang berkuasa. Matrisentris hanya menggarisbawahi adanya masyarakat yang spontan, organik, si ibu yang bertanggungjawab atas jaminan keselamatan dan kehidupan anggota keluarganya. Sang ibu “berkuasa” karena pengalamannya, pengetahuannya, dan kemampuannya. Namun “kuasa” sang ibu disini dimaksudkan sebagai upaya untuk membesarkan anaknya, membuat anaknya tidak bergantung kepadanya.

Tentunya, perempuan sebagai masyarakat primata yang matrisentris, bagi kebanyakan antropolog awal tidak dianggap menarik. Bahkan mereka dengan tegas tanpa berusaha melakukan penelitian menyatakan awal segala bentuk spesies yang ada diatur lewat dominasi laki-laki. Orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa “penguasanya” adalah laki-laki. Banyak tanda-tanda kekuasaan dalam Abad Pertengahan menggambarkan penguasa harimau jantan. Peneliti-peneliti ini jelas hendak melegitimasi mengapa pada jaman sekarang bahwa laki-laki berhak mendominasi.

Pada jaman perkembangan manusia awal, terbukti bahwa manusia yang independen adalah jenis perempuan, dimana secara ekonomi ia yang menentukan. Para perempuan ini merawat bukan saja anggota keluarganya, tetapi semua anggota keluarga dan berperan memberi makan seluruh anggota keluarga.

Kegiatan berburu dikatakan merupakan sinyal awal adanya perubahan serta perlahan-lahan menjauh dari matrisentris. Dikatakan laki-laki mempunyai keahlian berburu dan perempuan tidak. Padahal, sebenarnya banyak perempuan yang bisa melakukannya dan dari awal telah melakukannya karena tanggungjawab terhadap anak-anaknya, ini dibuktikan lewat lukisan-lukisan yang ada di gua-gua. Namun, pada perkembangannya terdapat intervensi dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya membolehkan laki-laki untuk berburu. Disini telah terjadi pembagian kerja secara seksual.

Perkembangan selanjutnya, dari berburu beranjak pada pemakaian alat-alat, penggunaan perapian, membuat manusia semakin jauh dari kebiasaan-kebiasaan kebibatangannya. Dari pola keinginan menguasai alam. Langkah selanjutnya adalah penguasaan terhadap kehidupan kelompok.

Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property and The State, menggarisbawahi pentingnya untuk memperhatikan perubahan pengaturan komunal yang pada awalnya dikuasai oleh perempuan karena perempuan secara seksual bebas, tidak terikat pada laki-laki, akhirnya diatur untuk monogami dan dijadikan properti laki-laki.

Pendobrakan kekuasaan perempuan dilakukan lewat pengaturan produksi rumah tangga kini yang pegang laki-laki. Kemudian sistem keluarga yang monogami dimana perempuan hanya boleh memiliki satu pasangan. Pada saat inilah menurut Engels, telah terjadi pendobrakan terhadap hukum pereempuan dan hal ini menjadi tanda kekalahan perempuan, dan selanjutnya dalam sejarah terjadi penindasan terhadap perempuan yang tiada hentinya.

Budaya patriarkhi tidak muncul secara tiba-tiba. Proses panjang dilalui dalam bentuk-bentuk organisasi sosial. Bentuk-bentuk organisasi sosial yang meneguhkan dominasi laki-laki memperkenalkan definisi-definisi baru tentang laki-laki dan kelaki-lakian. Untuk mencapai target ini French mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan, yakni memutus rasa hormat antara perempuan dan laki-laki, memutus solidaritas perempuan, dan memutus ikatan ibu dan anak.



Dalam buku Feminisme: Sebuah Kata Hati – Gadis Arivia

Menekankan perkataan Marilyn French, bahwa untuk memutus rasa hormat antara laki-laki dan perempuan, budaya berburu harus memperlihatkan bagaimana pentingnya laki-laki dalam berburu, dan bahwa menjadi laki-laki adalah unik dan dibutuhkan. Levi Strauss-Antropolog kenamaan, mengatakan dalam masyarakat berburu diperlukan semacam ritual dan ritual ini menunjukakan superioritas laki-laki, yang mulai meminggirkan perempuan. Untuk itu diciptakan mitos-mitos, yang mengsakralkan senjata dalam ritual karena diidentifikasikan sebagai milik laki-laki yang pemberani. Prinsip dasarnya bahwa laki-laki dilahirkan dua kali, pertama lewat ibunya, kedua lewat masyarakat laki-laki kelompoknya. Kelahiran kedua diasosiasikan sebagai laki-laki sejati dan seringkali dilakukan mutilasi terhadap alat kelaminnya, yang menandakan sebagai makhluk yang kuat dan jantan.

Peran perempuan dalam budaya primitif mulai dipreteli dan ia kehilangan lingkungannya yang ia akrabi, lebih jauh kehilangan identitas diri dan kekuasaan diri. Hal ini karena mulainya supremasi laki-laki yang merambah melalui pendobrakan hubungan familial perempuan dan diperkenalkannya sistem patrilineal, dimana garis keturunannya tidak lagi ditentukan oleh ibu. Pendobrakan laki-laki pada jaman primitif inilah ditandai sebagai awal budaya patriarkhi,


Perdebatan-perdebatan mengenai teorisasi gender telah menajam hingga kini, gender adalah dulaisme. Pendapat aliran feminis liberal menolak dualisme ini, sedangkan aliran feminis radikal menekankan dulaisme juga, namun menegaskan bahwa wanita lebih unggul daripada laki-laki, dengan bermacam-macam kriteria. Artinya dualisme tradisional dijungkirbalikkan karena malah digunakan untuk melakukan serangan terhadap patriarkhi.

Saya mencoba menelusuri awal budaya patriarkhi dan dualisme gender, kembali kepada mitos-mitos penciptaan purba, hingga kepada pemikiran-pemikiran para filsuf besar.




Mitos Adam, Hawa dan Pandora

Menengok Ayat Kejadian pada Al Kitab.
Durkheim dan Mauss telah menegaskan bahwa: “Setiap mitologi merupakan sebuah klasifikasi” (1963: 77); dan mitos penciptaan Kitab Kejadian merupakan sebuah ideologi gender. Hawa diciptakan untuk membantu Adam, sehingga Adam yang diciptakan pertama kali unggul secara sosial, Adam juga unggul secara moral, karena Hawa-lah yang berdosa pertama kali, sehingga Hawa dapat dianggap sebagai asal usul kejahatan, penyebab kejatuhan manusia (pertama) ke dalam dosa, dan penyebab mereka diusir dari Eden. Pada akhirnya, ketika mengutuk Hawa, Tuhan memerintahkannya untuk “taat” pada Adam – dan kemudia Tuhan memarahi Adam karena mendengarkan Hawa (Kejadian 2 dan 3).
Dengan demikian, mitos penciptaan terang-terangan melegitimasi patriarkalisme, bahkan kebencian kepada wanita, mengunggulkan dominasi laki-laki dan mewajibkan wanita untuk tunduk kepada laki-laki.

Selain itu, ideologi gender Eden diperkuat dalam tradisi Yahudi dan Kristen melalui maskulinitas Tuhan. Sejarah Yahudi menggambarkan mereka yang memerintah adalah laki-laki: Adam, Nuh , Musa, Salomo, Abraham, Daud, Yesaya dan Mesias Interpretasi tradisonal mengenai penciptaan dan mitos pencobaan untuk jatuh ke dalam dosa telah terbukti sangat kuat pengaruhnya dalam konstruksi gender – dan terjadi karena mereka kongruen dengan tradisi Yahudi.



Menegok Cerita Hesiodus dan Theognisus dalam Mitologi Yunani

Pada awalnya hanya ada laki-laki, relatif lemah dan tidak berkuasa jika dibandingkan dengan hewan-hewan ciptaan yang kuat dan dilengkapi senjata. Untuk membantu mereka, salah satu Titan mencuri api, milik para dewa, dari matahari. Zeus, karena marah, memutuskan untuk menghukum manusia, dengan menciptakan sebuah ‘kejahatan’,’kutukan terburuk’, ‘jebakan tak berpengharapan, mematikan bagi manusia’, yakni wanita pertama: Pandora.

Pandora adalah wanita yang sangat cantik, dengan ‘wajah seperti para dewi yang abadi’, namun ia membuka guci kecil yang didalamnya sebuah kesulitan, penderitaan, dan kejahatan dunia tersimpan; hanya harapan saja yang ada. Zeus membalas dendan kepada laki-laki sehingga wanita dibuatnya menjadi ‘keruntuhan manusia’

Kemiripan-kemiripan antara kedua mitos di atas terlihat sangat jelas. Hawa dan Pandora sama-sama diciptakan oleh dewa laki-laki, mereka keduanya diciptakan bagi laki-laki, yang satu untuk membantu, yang lain untuk menghancurkan, dan keduanya menjadi asal-usul kejahatan di dunia. Selain itu, para pembuat mitos ini semuanya laki-laki. Dari sinilah dasar ideologis telah siap untuk dipelajari para filsuf Yunani dan teolog Kristen.



Dualisme dan Pernyataan Filsuf Yunani

Pythagoras, Parmenides, dan Aristoteles, mengintitusionalkan teori mengenai dua seks sebagai sesuatu yang berlawanan.
Aristoteles mengumumkan ‘Tabel Pertentangan Pythagorean’ dalam Metaphysics 986; 1984: 1559. Hal yang paling penting pada table tersebut, untuk pertama kalinya pria dan wanita ditentukan secara eksplisit, bukan hanya sebagai dua hal yang berbeda namun lebih tinggi lagi, yakni dua hal yang berlawanan. Identifikasinya, ‘laki-laki baik, benar, terang, satu’. Dan wanita ‘jahat, salah, gelap, dan plural. Sehingga dari pernyataan Aristoteles, gender bukan hanya sekedar persoalan biologis, namun juga terkait dengan konsep-konsep kosmologis, jumlah, kesatuan, arah, gerakan, kondisi, warna, moralitas, dan bentuk. Gender berhubungan dengan segala sesuatu dan segala sesuatu digenderkan. Aristoteles menyimpulkan bahwa: “Laki-laki pada hakikatnya unggul dan wanita lemah; yang satu memerintah, yang lain diperintah; prinsip ini secara niscaya, diaplikasikan pada semua manusia” (1984: 1989-1990).
Aristoteles kembali kepada gender dan Economics (1: 1343-1344), dengan menegaskan serangkaian oposisi biner: pria lebih kuat, wanita lemah; pria pemberani, wanita berhati-hati; pria mencapai keinginan mereka di luar rumah, wanita memelihara apa yang diperoleh di dalam rumah; satu seks diadaptasikan bagi aktivitas-aktivitas di luar ruangan, yang lain bagi kehidupan di dalam ruangan; dan meski keduanya berbagi dalam mendidik anak, wanita tetap harus mengasuhnya sedangkan pria mendidiknya.
Menurut Aristoteles juga, karena ‘prinsip jiwa’ dipancarkan di dalam dan bersamaan dengan cairan mani, wanita sama seperti laki-laki yang tidak berdaya, dan wanita lebih lemah dan dingin dalam hakikatnya, sehingga harus dilihat karakter mereka sebagai kemerosotan hakikat

Konsep Plato
Ia percaya bahwa laki-laki lebih bijak dari pada wanita, dan bahwa jenis kelamin wanita umumnya ditandai oleh kelemahannya dalam menyimpan rahasia dan keahliannya dalam menipu. Maskulin ‘mulia cenderung berani’ sementara feminin ‘teratut dan murni’
“kebanyakan wanita dan ini benar, lebih baik jika dibandingkan kebanyakan laki-laki dalam banyak hal” (Republic 5: 455; 1963: 694)
Plato mengisahkan cerita yang terkenal seksis dalam Timaeus. Bahwa pada awalnya hanya ada laki-laki yang tercipta. Jika laki-laki hidup dengan baik, maka setelah ia meninggal akan berdiam dalam bintang tempatnya berasal, dan disana ia akan dilimpahi dengan banyak berkat dan tempat tinggal yang menyenangkan. Namun jika hidupnya jahat maka ia akan berubah menjadi wanita dalam kelahiran kembali, dan jika wanita masih hidup dengan jahat, maka ia akan lahir kembali menjadi binatang buas. (Timaeus 42, dan lihat 90; 1963; 1171)



Dualisme dan Kristinitas Awal

Dualisme dan hegemoni laki-laki dibangun menjadi bagian dari pengajaran gereja paling awal; ini kadangkala meruncing menjadi misogini (kebencian kepada wanita). Tertullianus (160-230) mungkin adalah yang paling membenci wanita di antara Bapa Gereja mula-mula. Dalam suatu kebaktian ia mengatakan hal ini tentang wanita:
Tidakkah kamu tahu bahwa kamu Hawa? Perkataan Tuhan masih
menggantung di atas semua seks kalian dan hukuman-Nya akan turun
meninpamu. Kalian adalah gerbang iblis; kalian adalah dia yang pertama-
tama mengutak-atik pohon terlarang dan menghancurkan hukum Allah.
(Dalam O’Faolain dan Martines, 1973:132)

Yohanes Krisostomus 9347-407), Uskup Konstantinopel, memiliki pandangan yang sama kasarnya:”Apakah wanita selain musuh bagi persahabatan, hukuman yang tidak akan pernah dapat dihilangkan, kejahatan mutlak, percobaan alami, malapetaka yang diinginkan, bahaya bagi keluarga, kerusakan yang lezat, hakikat kejahatan, yang semuanya dilukis dengan warna-warna terang?” (dalam Phillips, 1984: 22)

Agustinus mengigatkan jemaatnya bahwa ‘melalui seorang wanita maka dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua’ (The City of God, buku 15: 20; 1958: 359). Suami Kristen kala itu hampir-hampir menderita skizofrenia: “ia mencintai kenyataan bahwa isterinya adalah manusia, namun membenci kenyataan bahwa dia adalah wanita” (dalam Ranke-Heinemann, 1990: 96)


Dari penyataan para pembesar di ataslah misogini tumbuh subuh dalam pikiran laki-laki kala itu, hingga prakondisi ini menjadi sangat mengerikan dampaknya, dengan pembunuhan para penyihir di Eropa dan Amerika Utara dari abad 15-18 (karena para penyihir hampir semunaya wanita).
Perburuan terhadap penyihir dimulai dengan peristiwa ‘Witches Bull” tahun 1484 ketika Paulus Innocentius VII menunjuk dua orang Dominikan sebagai inkuisitor.
Dan sesuai dengan refleksi atas sebuah tradisi yang kembali lagi melalui Krisostomus, mengenai Hawa dan Pandora, maka wanita ‘canti untuk dilihat, menodai sentuhan, dan mematikan untuk dijaga’ (1970: 44-47)
Beberapa orang menggambarkan ‘perang melawa wanita’ ini menghubungkan genosida dan menghubungkannya dengan kekerasan melawan wanita di seluruh dunia: pemasungan wanita di Cina, suttee Hindu, pembunuhan bayi wanita di Asia terutama timur tengah, pembakaran istri di India, perusakan alat genital di beberapa bagian Afrika dan Timur Dekat, larangan-larangan mengenai hak-hak wanita dalam fundamentalis Islam, tolenransi pria atas ‘kejahatan-kejatan hasrta’ demi membela kehormatan mereka di Brazil, dan akhirnya, ginekologi dan kekerasan fisik melawan wanita di Eropa, Amerika Utara dan tempat-tempat lainnya. (Millet, 1971: 64; Daily, 1978: 221; French, 1992)

Daftar panjang ini menurut saya adalah sebagai sebuah fenomena dasar kebencian terhadap wanita. Namun saya sangat mengagumi Luther yang secara empatik menolak dasar atas kebencian terhadap wanita, dan menggambarkan para pendukung doktrin ini ‘sebagai monster dan anak-anak monster’



Filsafat Barat

Ternyata para filsuf barat pun tak hentinya berpikiran bahwa wanita adalah yang lemah, sumber kejahatan, dan diperuntukkan laki-laki. Kutip saja peryataan yang Rousseau, Hegel, Ruskin, Schopenhauer, bahkan Nietzsche sekalipun dalam Thus Spoke Zarathustra. Berikut serangkaian epigram Nietzsche:
Segala sesuatu yang terkait wanita adalah sebuah teka-teki, dan segala
sesuatu yang terkait dengan wanita hanya memiliki satu solusi saja: yang
disebut kehamilan. Laki-laki sejati memiliki dua hal: bahaya dan permainan.
Karena alasan itulah ia ingin wanita sebagai permainan yang sangat
berbahaya. Laki-laki dilatih untuk perang dan wanita untuk melahirkan
kstria: semua yang lain tidak berguna. Kebahagiaan laki-laki adalah: Aku
ingin. Kebahagiaan wanita adalah: Dia (laki-laki) ingin. Apakah kamu ingin
mengunjungi wanita? Jangan lupakan cambukmu! (1969: 91-92)

Pernyataan Paul Broca, seorang ahli bedah Prancis dan pendiri masyarakat antropologi Paris, sangat membuat saya kecil:
Kita tidak boleh lupa bahwa wanita, rata-rata, kurang begitu pandai
dibandingkan laki-laki…Dengan demikian kita memberanikan diri untuk
menduga bahwa yang relatif lebih kecil bergantung pada inferioritas dan
intelektualnya. (dalam Gould, 1981: 104)

Jika Broca berpendapat bahwa kelemahan wanita berasal dari kapasitas tengkoraknya, Darwin serta Nietzsche melihat kelemahan tersebut dari ‘keutamaanya’, maka yang lain berpendapat bahwa kelemahan ini berasal dari kandungan. Kandungan bukan hanya sumber penyakit, melainkan juga, karena hubungannya dengan otak, penyebab kegilaan bagi wanita. Dr. Direx yang menyatakan ini dalan Ussher. Keyakinan ini memudahkan praktik medis, namun teman-temanya percaya rahim tidak hanya menyebabkan penyakit fisik, melainkan juga penyakit jiwa.



Filsafat Modern

Ternyata Sigmund Freud pun adalah seseorang yang mempercayai superioritas laki-laki. Tak lain Jung yang merupakan penerus psikoanalisis Freud, Jean-Paul sarte yang merupakan suami Simone De Beauvoir, mereka menghina wanita secara terang-terangan.



Membaca mitos kejadian manusia hingga pernyataan mengenai perempuan oleh para filsuf sejak berdirinya filsafat yunani sampai filsafat modern, membuat rasa sakit yang teramat dalam mengenai dasar patriarkhi yang melahirkan konstruksi dualisme gender. Ini sangat berbahaya bagi diri saya, saya akan mengalami satu feed back serangan kepada laki-laki. Padahal disamping saya adalah seorang laki-laki yang menghargai dan membuat saya nyaman. Bagaimana saya menyikapi satu hal yang terjadi pada diri saya. Apakah ini benar sebuah realitas atau hanyalah realitas semu. Entahlah, dalam hati kecil saya, jika feed back itu terjadi, sekiranya akan kembali menjadi feed back yang menyerang saya, kembali saya menyerangnya, kembali saya diserang dan seterusnya. Lalu sampai kapan berakhir?? Serangan itu pernah dialami oleh filsuf-filsuf perempuan pada awal tahun 1990, yang telah berhasil mendeklarasikan pemikiran ketidakadilan gender, menggugat patriarkhi. Tapi saya tahu, konsep-konsep dekralasi pemikiran mereka berbeda-beda sejak awal tahun 1960 dengan berbagai aliran pemikiran, misalnya yang diboncengi liberalisme, radikalisme, sosialisme, psikoanalisis, eksistensialisme, post modernisme, ekologi. Ah entahlah akan ada aliran apa lagi selanjutnya, mungkin aliran radikal bebas atau aliran global warming. Siapa tahu karena budaya bersifat pragmatis. Atau aliran yang diboncengi ozonisme (ini hanya candaan saya belaka). Saya pernah mendengar statement bahwa “Hari gini masih membicarakan gender.” Anekdot tersebut mungkin memang benar, jika saya berkoar-koar tentang feminisme post kolonial, atau feminisme gelombang kedua tahun 1960-an. Saya sangat beruntung besar di abad 21. Saya atau anda kini dapat bersekolah setinggi-tingginya, bekerja sesukses-suksesnya, menjadi presiden sekalipun, saya atau anda jugalah mempunyai kesempatan. Namun saya dan anda berbeda, kita memang sama seorang perempuan, hanya saja pemahaman serta konsep diri kita tentunya tak kan sama. Untuk saya pribadi menanggapi misoginisme yang saya rangkum di atas, bahwa yang saya inginkan adalah keadilan, perdamaian dan tak ada pertikaian, tanpa adanya serang menyerang. Mungkin akan serasa hidup di surga, barang kali. Memiliki obsesi dekonstruksi memang sangat hebat menurut saya. Namun apakah sebuah dekonstruksi itu memelurkan revolusi, tidakkah disini akan terjadi kekacauan, mengigat terjadinya sebuah revolusi bersyarat dengan tumpahnya darah dan siapa yang menang atau kalah tak ada ada yang tahu. Saya pribadi tak kuasa melihat darah serta kekacauan, saya pun enggan menerima kekalahan, sehingga saya cukup mencari kenyamanan untuk diri atas konsep pemikiran dan tindakan saya selama ini. Saya acungkan jempol sebagai prestise dan penghargaan saya jika ada seseorang yang mempunyai power dan obsesi demi sebuah dekonstruksi, entah dengan revolusi atau evolusi (jika ia tak terburu mati). Ia adalah seorang pemberani tidak seperti saya yang masih membutuhkan sesuap nasi, oleh karena itu, space kenyamanan yang mengelilingi titik sentrum gravitasi konsep diri tak begitu luas bagi saya, mungkin cukup partner yang cocok saja. Saya sudah sangat bersyukur dari pada tidak sama sekali.

Pada satu buku yang lain, meneguhkan pemahaman saya, bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan gender bukan ditujukan kepada subyek budaya patriarkhi, yakni yang tersebut menjadi laki-laki. Toh sebenarnya baik laki-laki maupun perempuan adalah korban bagi mereka yang merasakan ketidakadilan tersebut. Setelah saya memahami dasar misogini, dasar dualisme gender, serta bias patriarkhi, saya tak ingin mengalami apa yang dirasa suami Kristen pada jaman Agustinus. Bahwa saya akan menjadi seorang psizofrenia: ‘mencintai kenyataan bahwa pasangan saya adalah manusia, namun membenci kenyataan bahwa dia adalah laki-laki’, sebuah kontradiksi. Jadi tepat, bahwa saya tak perlu membenci semua laki-laki dan tetap bisa mencurahkan serta menerima kenyamanan atau penghargaan kepada dan dari laki-laki di samping saya sekarang. Kini saya dapat saling mengisi tanpa membuat laki-laki disamping saya merasa diperlakukan pilih kasih atau spesial dibandingkan laki-laki diluar hanya karena ia laki-laki yang saya pilih untuk dekat dengan saya.

Menurut saya, tak ada salahnya juga, tak patut dihakimi pemikirannya belum sadar, jika ada seorang perempuan yang merasa nyaman dan baik-baik saya berada dalam atmosfer budaya patriarkhi mutakhir. Meskipun saya tidak, namun saya tahu apa yang membuat saya nyaman, saya cukup mencari itu, tak lebih. Bukannya saya egois, tapi saya sadar bahwa saya tak memiliki power untuk mengajak perempuan lain sepaham dengan bias patriarkhi yang melegitimasi dualitas gender. Jadi saya mencari kenyamanan untuk diri saya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;