Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Kamis, 17 November 2011

P A N C E R ( short story version )



Api yang merah, merah adalah pantulan seriungan wajah matahari terbakar amarah saat menunggu gelap datang melahap. Angin yang kuning, kuning adalah buratan cahaya menyelinap meraba pagi tatkala menjelang. Tanah yang hitam, hitam adalah pertanda gelap awal sesuatu untuk mengucap selamat tinggal kepada malam yang segera terkunci dalam relung lautan terdalam. Air yang putih, putih adalah hasil dari sebuah upaya untuk meraih cahaya penglihatan menuju terang.

***

”Keparat, perempuan bangsat”
“Sundal terkutuk!!!”
“Kehormatan paling hina, manusia terlaknat.”


Perempuan berparas ayu itu terus memekik dalam gumam di sepajang jalan dengan amarah yang tak kunjung redam meski dirundung derasnya hujan bulan november pagi buta yang tak juga segera menepikan dirinya untuk sekedar bersandar melelapkan emosi.

Perempuan berparas ayu telah luntur meluluhkan sudut waktu.

”Keparat, perempuan bangsat”
“Sundal terkutuk!!!”
“Kehormatan paling hina, manusia terlaknat.”

Pekik hati yang semakin menjadi, aduhai perempuan berparas ayu tak jua bosan berteriak dalam hati yang melulu berkecamuk terisi melodi-melodi menyayat denting langit pagi buta yang segera mungkin memburatkan mega.

Wahai jalanan basah bersenandung pilu melantunkan tembang merdu untuk sekedar menghibur sang perempuan berparas ayu.

***

Perempuan berparas ayu lainnya juga tersudut meski tanpa memekik dendam yang saling beradu gantung menggapai sisa ranting patah dalam hatinya. Namun rasa sakit tak terpungkiri juga mengguncang senyum suram si perempuan, dielusnya perut itu, embrio yang segera membuatnya tambun. Di ingatnya kesakitan yang baru saja menyerangnya, dan akan selalu menggelayut di benaknya, ia pun segera tahu apa yang harus dilakukan.

***

Di lain ruang dan waktu, sebuah labirin mengecam dan menjadi saksi bisu perempuan berbaju merah, perempuan berbaju hitam dan laki-laki berbaju kuning. Mereka bersitegang dengan diri masing-masing, tak karuan langkahnya tersebar berusaha tunggang langgang menghindar dari laki-laki berjubah hitam dengan obor dan sebilah golok tajam.

***

”Keparat, perempuan bangsat”
“Sundal terkutuk!!!”
“Kehormatan paling hina, manusia terlaknat.”

Masih saja ia memekik dengan dendam panjang. Tanpa sadar kamar perempuan berparas ayu berdebar ketakutan dalam suatu malam, terserang energi tak tercerna otak natural manusia. Asbes membabi buta berserak di lantai tanpa sebab, menghantam kenangan perempuan berparas ayu dan laki-laki berparas tampan yang tersimpan pada selembar foto berbingkai frame kayu hitam.

Apa gerangan yang terjadi, perempuan berparas ayu lunglai tersungging di sudut pikirannya sendiri. Datanglah ia pada seseorang, berharap mampu menolong sang perempuan. Seseorang bergelar dokter psikistri tak sanggup lagi bahkan tak punya daya untuknya.

***

Tak ada lagi pekik tajam mengecam perempuan berparas ayu lainnya, karena ia telah berhasil dengan sebuah niat yang memanglah harus ia dilakukan karena kesakitan terlampau mengakar dalam.

***

Setelah tak berhasil mengais tujuan pada dokter psikiatri, perempuan berparas ayu kembali datang untuk menuai hasil pertolongan dari dokter lainnya, berharap dokter ini menyeka buih sisa tangis dan menghapus segala kegelisahan tak berujung. Sebuah kegelisahan yang tak ia pahami, sangat aneh untuk alam pikiran natural.

“Anda hanya butuh bertirakat, perbanyak beribadah, puasa, bersedekah” Sang dokter membuyarkan pikiran sang perempuan berparas ayu dengan saran-saran yang menurutnya aneh.

“Kencana Ratribumi, kereta bulan dan bumi, anda harus mampu menjadi kereta bagi diri anda sendiri, membawa ke arah stasiun yang anda tuju.” Dokter menambahkan dengan sebuah analogi dari arti nama sang perempuan berparas ayu.

Sang dokter memberi resep, tapi resep yang sangat aneh, sebuah lambang arah mata angin. Air berwarna putih di timur, angin berwarna kuning di utara, api berwarna merah di barat, dan tanah berwarna hitam di selatan. Sang perempuan berparas ayu sama sekali tak mengerti tentang lambang itu, di balik lambang arah mata angin pada kertas, sebuah tulisan tersirat dengan makna-makna tersurat. Api yang merah, merah adalah pantulan seriungan wajah matahari terbakar amarah saat menunggu gelap datang melahap. Angin yang kuning, kuning adalah berduyung-duyungnya kepulan asap dari lembah bumi yang keluar dari gundukan tanah tinggi, melayang terus terbang. Tanah yang hitam, hitam adalah pertanda gelap awal sesuatu untuk mengucap selamat tinggal kepada malam yang segera terkunci dalam relung lautan terdalam. Air yang putih, putih adalah buratan cahaya menyelinap meraba pagi tatkala menjelang, hasil dari sebuah upaya untuk meraih cahaya penglihatan menuju terang.

Ia geram apa pula hal aneh yang telah diberikan oleh dokter itu. Sangat tak ia pahami sekalipun. Perempuan berparas ayu nan malang, ia merasa mendapat resep sumbang, dokter yang lain itu tak memberinya sebuah jalan untuk memberhentikan arah tujuannya.

***

Perempuan berparas ayu melayang ringan di jalanan dengan desah panas udara siang berbaur keheningan di tengah ramainya manusia-manusia yang berlalu lalang. Ia hanyut pada kekacauan, perasaan gelisah dan hal-hal aneh yang mengekor tanpa jeda itu seolah terus dan terus untuk turut memberi jejak pada langkah kaki yang menapak trotoar kota. Sekelebat di depannya, sang perempuan menangkap bayangan perempuan berbaju kuning, energi yang kuat membuatnya berpaling arah, sekelebat perempuan berbaju hitam kini mengganggunya sebagai benda kasat tertangkap retina, kembali energi kuat membuatnya berpaling arah, laki-laki berbaju hitam kini berkelebat menjadi bayangan yang mampu di lihat mata. Hanya lemas yang terasa, namun sang perempuan berparas ayu mencoba terus melangkah dengan sisa tenaga meski harus terhuyung tak berdaya.

Sang perempuan teruslah berjalan, menjajaki hari siang dengan sekelumit niat untuk berkompromi bersama daya yang tersisa, berharap sampailah ia di sebuah taman yang biasa dijadikannya tempat mengadu untuk beradu bersama waktu yang kejam menantang.

Perempuan duduk sendiri menghirup keheningan yang terlalu hening. Tak ada siapapun. Sebuah taman, ia sengaja dibangun di sini. Hanya sepi kini menemani sang perempuan, namun gejolak jiwa meledak tak juga kunjung redam. Sangat tak diduga dan tiba-tiba, kegagetan membunuh sepi sang perempuan itu, di sebelahnya muncul sesosok laki-laki berbaju putih, duduk bersamanya di salah satu kursi taman, kehadiran tak disangka membawa laki-laki mengeluarkan suara.

“Kurasa kau sudah bertahun-tahun selalu mengunjungi taman ini..” Seru laki-laki berbaju putih yang datang tanpa diketahui perempuan berparas ayu dari mana jutrungnya.

“Iya, taman ini sangat indah dan tenang.” Sang perempuan menjawab lirih

“Tepat, kalau boleh kutebak taman ini sepertinya menjadi saksi bisu segala keluh kesahmu.”

“Kau juga sering ke taman ini??” Sahut perempuan ayu.

“Selama kamu mengunjunginya.”

“Aku tak pernah melihamu. “ Perempuan berusaha menerka siapa gerangan laki-laki yang tiba-tiba muncul disampingnya.

“Karena kau tak pernah menyadarinya, kau terlalu sibuk memikirkan dunia yang hanya bisa kau cerna dengan otak sadar.”

“Emosimu sedang kacau saat ini??? Jangan bertanya aku tahu dari mana, jawabanku akan tetap sama, karena kau tak pernah menyadarinya, menyadari keberadaanku. Baiklah, lupakan itu. Kau bisa melihat kan, coba tebak apa saja yang ada di taman ini!” Laki-laki menambahkan pertanyaam dengan menyusun sebuah tebakan.

“Ada pohon, kolam, kursi taman, air, rumput tanah, angin..”

“Cukup-cukup.. tebak saja dengan batasan materi-materi yang bisa kau lihat dan tampak berbeda sejak pertama kali kau datang kemari..” Cetus laki-laki tegas.

“Kursi, pohon, rumput, kolam, ikan..” Segera yang perempuan sedikit memutar otak menjawabnya.

“Ya, pedapatku juga sama, tempat ini disebut sebagai taman, karena dapat kau temukan pohon dan rumput yang sengaja ditanam, kursi dan kolam yang sengaja dibangun. Kalau kau bilang angin dimanapun ada angin, dirumahmu, di jalan. Kalau kau bilang air, dimanupun juga ada. Taman ini ada karena ada yang membuat. Si pembuat itu berarti telah bereksistensi. “ Laki-laki menambahkan.

“Kamu mau berbicara secara filosofis?? Betapa sombongnya.” Pendapat perempuan pahit.

“Mungkin iya, seorang seniman disebut bereksistensi karena ia menghasilkan sebuah karya. Semua yang dirasakannya pasti mendapat eksekusi oleh otak terlebih dahulu lalu menuangkan dalam kanvas. Menurutku ada sebuah eksistensi yang tak harus melewati otak. Yakni sesuatu yang tak dapat dijelaskan dengan teori-teori natural.”

“Itu tidak mungkin, segala sesuatu pencitraan alat indra pasti dikirim ke otak, dan otaklah yang menerjemahkan semuanya.” Perempuan ayu menyangkal.

“Kau pasti akan meneguhkan bahwa segala hal harus melewati pikiran, bisa di jelaskan dengan fungsi otak, dan kau sebut itulah sesuatu yang logis, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan nalar, kau bilang itu tidak logis kan??” Argumen laki-laki membalas sangkalan perempuan

“Iya.” Ucapnya tegas dan jelas.

“Mungkin itulah kelemahanmu dalam menghadapi gejolak yang kau rasakan kini Ratri, kalau diriku tak kliru.” Terka laki-laki yang membuat sang perempuan menunduk atas sebuah cibiran itu.

“Dari mana kau tahu namaku” Tanya perempuan sumbang.

“Jangan kau tanyakan itu sudah kubilang, jawabanku akan tetap sama, karena kau tak pernah menyadarinya. “ Sontak laki-laki mengulagi jawaban yang tetap sama.

“Terserah lah, yang jelas otak ku telah menerjemahkan apa yang ditangkap oleh mataku, bahwa disebelahku kini ada laki-laki aneh yang tiba-tiba membicarakan kelemahanku hanya karena sesuatu yang logis dan tidak. “ Geram sang perempuan pasrah dengan jawabang laki-laki yang tak memberi ujung pasti.

Laki-laki berbaju putih terus saja menyangkal akan ketidaktahuan serta ketidaksadaran sang perempuan terhadap dirinya, ia semakin menyulut kemarahan perempuan menjadi merah padam karena menurutnya semua materi tak dapat terjelaskan dengan otak, tak semua teka-teki membutuhkan pembuktian dengan formula tertentu untuk mencari jawabannya. Rasa, menurutnya adalah bagian lain yang mampu meraba kekosongan dari otak. Mampu merasakan hembusan angin, nikmatnya dinginnya air, dan gerahnya sengatan matahari.

Perempuan berparas ayu serta merta menyanggah pendapat sang laki-laki, ia mengatakan semua yang bisa dirasa karena adanya sistem indera yang menangkap impuls dan mengirimkannya ke otak hingga akan terasa bahwa air itu dingin, matahari itu panas, sesuatu yang logis dengan pembuktian formula. Laki- laki menyerah untuk sekedar mengutarakan pendapat yang ternyata selalu salah bagi sang perempuan, meski sang perempuan ayu mengalami sesuatu yang menurut laki-laki tak mampu dijelaskan dengan logika. Laki-laki menyuruh perempuan ayu itu melihat tulisan yang diberikan dokter. Sebuah lambang arah mata angin, dibalik kertas tergores pula tulisan yang tak dipahami perempuan. Laki-laki menerka tujuan kedua goresan itu untuk mmencari keseimbangan, cara menahan diri agar tak timbul akibat yang fatal.

“Pun sama seperti dirimu, aku yang menyaksikan perubahan taman ini juga menyaksikan perubahan pada dirimu, tak seperti kala pertama kau duduk di salah satu kursi taman ini. Kenapa kau diam? Secara kasat mata kau adalah sekumpulan materi yang menjadi satu seperti taman ini terdiri dari pohon, kursi beton, kolam, maupun rumput, dapat berubah. Tapi kau punya materi lain yang sampai kapanpun akan tetap memiliki ciri-ciri yang sama, sama halnya dengan taman ini. yang tak berubah itu adalah angin, panas, air dan tanah. Tak beda bukan dengan dirimu, selain materi kasat yang penuh perubahan, materi yang tak berubah adalah pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran.” Lamat-lamat laki-laki membuat perbandingan.

“O ya. Perbandingan yang rumit, materi-materi yang kau bilang tak berubah itu memiliki perkembangan, aku pikir angin itu mempunyai kekuatan, ia bisa berubah tak seperti angin yang berhembus lembut seperti sekarang. Buktinya ia bisa bertiup kencang dan membuat pohon tumbang bukan. Begitu pula dengan pikiranku ataupun perasaanku.” Sanggah perempuan.

“Tepat, kau memang perempuan cerdas. Tapi aku memiliki perspektif lain yang boleh kau anggap salah. Bukankah ciri angin meski kencang pun akan tetap sama, terdengar dan terasa oleh sentuhan, meski ia bertiup lembut maupun kencang, yang membedakan adalah frekuensinya saja kurasa. Itulah sebuah perjalanan Ratri, pikirannu yang dulu lugu bisa menjadi liar karena sebuah perjalanan. Ia mampu berada dalam frekuensi tipis namun bisa saja tiba-tiba menjadi sebuah ledakan dan tentunya akan menjadikan kerusakan. Disaster layaknya pohon yang tumbang karena angin yang bertiup kencang.”

“Aku tak mengerti maksudmu, aku hanya percaya sebuah sebab akibat. Ledakan tak mungkin terjadi tanpa adanya suatu sebab.”

“Sebab itu bisa di manupulasi Ratri, yang jelas menurutku sebuah frekuensi bisa diatur, kamu pasti tahu sistem pencucian otak, bukankan itu sebuah manipulasi. Kita sendiri bisa mengendalikan frekuensi dari materi yang tak kasat mata dalam diri kita, tapi butuh pembelajaran. Tidak seperti materi yang kasat. Jika kulitku sudah berkeriput karena garis usia, ia tak dapat dikembalikan menjadi kulit bayi.”

“Ilmu pengetahuan dan teknologi bisa membantunya untuk berubah.” Lagi-lagi sang perempuan ayu bernama Ratri membuat sanggahan.

“Berubah, namun mata tak bisa ditipu Ratri. Coba kau lihat lagi kertas yang kau bawa!”

“Cukup!! Kamu sebenarnya siapa berani mengguruiku??” Nada tinggi perempuan berparas ayu murka.

“Aku tidak mengguruimu, hanya berbicara melalui perspektif yang berbeda, aku tahu karena diberitahu Ratri sedangkan kamu yang sebenarnya tahu, namun otak sadarmu menolak untuk tahu. Ketika kau mencari sebuah solusi kau hanya butuh memahami apa yang telah kamu perbuat. Jika kau bertanya siapa aku. Aku tak jauh dari dirimu, sebuah materi terpendam yang tak kau anggap ada karena otak sadarmu menolak itu selama ini dan aku muncul oleh kekuatan yang dikirim ibumu melalui gelombang alfa dan omega dalam udara.” Kata-kata laki-laki melayang bersama dirinya yang hilang dari pandangan.

***

Di sudut lain ruang dan waktu, laki-laki berjubah hitam dengan sebilah golok tajam dan kekuatan dasyat supra natural sanggup menghimpit dalam ketidakberdayaan perempuan berbaju merah, perempuan berbaju kuning, laki-laki berbaju hitam. Mereka bertiga tersudut di labirin tak berujung.

***

Sementara perempuan berparas ayu lainnya yang juga tersudut meski sama sekali tak memekik kata-kata hujatan tajam masih dengan kesakitan yang mengguncang senyum suram, terus saja perempuan ayu lain itu mengelus perutnya yang kian membesar, juga mengelus dadanya yang tak kalah membesar menyimpan dendam dari pekik perempuan berparas ayu yang tertuju padanya. Kini ia sedikit lega, sesuatu yang telah dilakukannya menampakkan cahaya terang.

***

Sang perempuan berparas ayu terbaring di ranjang rumah sakit, bau amis menyengat dari sisa luka cakaran di tubuhnya. Sang perempuan ditemukan pingsan di taman setelah mencakar-cakar sendiri tubuh kuning langsat seperti pualam itu. Taman, pembicaran panjang, laki-laki berbaju putih, perempuan berparas ayu pingsan, adalah sebuah hasil manipulasi.

Hembusan napas menderu basah berpadu dengan derai tangis Ibu sang perempuan di samping ranjang tempat ia berbaring lunglai. Tembang jawa mengalun merdu, Kidung Dandanggulo. Berisi tentang sadulur papat limo pancer.

“Maafkan ibu nduk. Ibu terlambat. Ini semua salah Ibu, Ibu tak bisa menjelaskan pelajaran hidup yang dipegang teguh orang jawa, ajaran sadulur papat limo pancer. Sepertinya kata-kata ibu selalu kamu sanggah, menurutmu semua kata-kata ibu tidak bisa di nalar. Ini salah Ibu sebagai orangtua.” Sambil melihati kertas yang ditemukan bersama perempuan berparas ayu, sang Ibu berbisik lirih di telinga perempuan meski ia tak membuka mata.

Dalam hati bergeming suara pada diri perempuan berparas ayu. “Kata-kata ibuku benar, hukum sebab akibat itu benar-benar ada, aku tak pernah belajar tentang diri sebagai manusia, tak pernah belajar menguasai diri untuk mengatur sebuah frekuensi. Dan aku menjadi lemah karena sebuah teka-teki. Mereka semua adalah saudaraku, bagian dari diriku, yang bersatu padu. Kuning-pikiranku, hitam-ingatanku, merah-perasaanku, dan putih-kesadaranku, yang termanipulasi, karena aku tak bisa menahan diri. Mungkin yang dapat kupahami kini adalah sebuah simbol dan makna. Arah mata angin dengan empat sisi yang sama adalah untuk menarik sebuah garis yang tak terputus menjadi lingkaran sempurna agar memperoleh keseimbangan. Sebuah keseimbangan diri dari saudara-saudara yang membentuk diriku yang berada tepat di tengah. Keseimbangan sebuah jiwa. Dan mungkin itu yang orang Jawa sebut Pancer.”

***

Perempuan berparas ayu lainnya menuai rasa lega, ia berhasil memanipulasi perempuan berparas ayu menjadi tak berdaya oleh kekuatan supra natural yang sengaja dikirimkan. Sembari mengelus perut yang semakin membesar, di pandanginya foto pernikahan bersama mantan kekasih perempuan berparas ayu. Masih segar dalam ingatan kata-kata busuk yang dilontarkan terhadapnya, karena kekasih itu menabur benih perut perempuan lainnya dalam lingkar asmara jalinan yang dirajut perempuan berparas ayu bersama sang kekasih itu.

”Keparat, perempuan bangsat”
“Sundal terkutuk!!!”
“Kehormatan paling hina, manusia terlaknat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;