Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Rabu, 09 November 2011

KAMUS DORLAN



Malam yang menggelayutkan bulan di atas jembatan Gondolayu sebelah timur Tugu Yogyakarta menapaki jejak Dorlan dan Gilang yang tercatat sebagai anggota punk Wirobrajan. Tak seperti malam-malam biasanya mereka berada di atas aliran Kali Code yang membelah kota Jogja bersama segerombolan kawan-kawan punk jalanan, saling beradu dengan lampu jalan serta cahaya bulan yang jatuh keemasan di atas aliran air itu. Malam ini nampaknya bulan serasa luruh di pangkuan mereka, Dorlan dan Gilang hanya berdua duduk di tepi trotoar jalan sambil meneguk bergantian sebotol kahlua yang terisi dalam botol bekas air mineral. Minuman yang biasa menjadi menu tiap malam bersama kawan-kawan jalanan mereka. Tak satu pun dari wajah dua bocah berusia sembilan belas tahun itu memperlihatkan efek alkohol yang mereka teguk, namun mata Gilang tak mampu menyembunyikan sesuatu, tampak merah meski bukan karena kehangatan alkohol hasil olahan daerah Pajeksan gang kecil di areal Malioboro, yang menjadi langganan pengemar minuman produksi rumahan.

Dorlan melihat beda kawan karibnya itu, ada sesuatu yang lain malam ini, Dorlan berani menebak bahwa Gilang mempunyai satu masalah yang membuatnya tersudut menjadi bulir-bulir air mata yang tak segera jatuh namun menjadikan sepasang matanya merah membara.
Dorlan sangat mengenal Gilang, kawan sehidup sematinya sejak mereka duduk di bangku taman kanak-kanak, mengapa tidak, jarak rumah mereka yang berdekatan dibantaran sungai di daerah Sayidan, gang-gang kecil dan rumah-rumah yang sesak seperti daerah koloni tanpa tata letak ruang yang apik membuat Dorlan dan Gilang serasa hidup di bawah satu atap. Kali ini Dorlan tak berani bertanya, apa gerangan yang menyebabkan kawannya seperti kehilangan keberanian, meski Dorlan selalu menganggap bahwa Gilang adalah salah satu teman yang tak pernah gentar menghadapi bahaya. Sayup-sayup akhirnya Dorlan mengeluarkan suara juga, namun dengan penuh hati-hati, seperti tak sedang terjadi apa-apa.

“Entek ki lang ngombene, tuku meneh piye?”1

“Ra sah, ra nono duit aku.”2 Sahut Gilang.

“Halah koyo ngopo wae kowe ki, aku isih ono duit dab.”3 Dorlan berusaha meyakinkan Gilang selayaknya komitmen natural yang biasa mereka lakukan bahwa uang adalah benda untuk berdua.

“Ojo, nggo mangan kowe sesuk wae dab.”4

“Kowe ngopo to koyo sesuk arep mati wae?”5 Dorlan berusaha mencairkan suasana dengan kalimat canda yang sarkas.

“Kowe duwe duit piro lan?6

Gilang seperti kehilangan kekuatan, pandangan matanya kosong, keling, peniti dan emblem-emblem yang meninghiasi baju serta celanannya tak mampu membuat Gilang tampak sebagai anak punk yang penuh keberanian, baru saja ia mendapat kabar bahwa pacarnya telat haid satu minggu, namun Gilang tak juga berani berterus terang kepada Dorlan.

“Isih ono nggo mangan seminggu? Ngopo e?”7 sahut Dorlan atas pentanyaan Gilang.

“Tak jilih sikek oleh ra?”8

“Ngopo e kowe lang?”9 Tukas Dorlan sambil meraba-raba apa yang sedang terjadi pada temannya.

“Tak nggo tuku jamu, nang tukang pijet karo tuku nanas enom.”10

“Oalah bojomu meteng po?”11 Sahut Dorlan dengan nada ceplas-ceplos seolah hanya dihadapkan dengan masalah sepele.

“Ho’o lan, bojoku jaluk dirabi e.”12 Tegas Gilang sambil menerima rokok yang baru dihisap Dorlan.

Dalam kamus Dorlan dan Gilang apapun yang menjadi milik mereka adalah untuk berdua, pun masalah yang dihadapi satu sama lain, namun kali ini Dorlan tak memiliki hak untuk ikut andil dalam persoalan satu itu. Dorlan sangat menghargai perempuan, ia adalah seorang anak yang tumbuh besar dengan idealisme sosial tinggi karena terbentuk dari kritik-kritik pedas punk yang dilontarkan lewat musik dan tindakan-tindakan anarkis atas ketidakadilan sosial yang dirasakannya. Ia selalu mengingat bagaimana ibunya, seorang perempuan yang menanggung ketidakadilan serta penderitaan karena konstruksi sosial yang membuatnya ikut merasakan menjadi salah satu korban. Sejak kelas dua SMP Dorlan ditinggal ibunya yang tak punya pilihan untuk terus melanjutkan hidup dengan menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi, namun tak juga membuat kehidupan keluarga Dorlan membaik, adik perempuan yang berjarak tiga tahun dengannya terpaksa dititipkan kepada Bu De Dorlan untuk membantu berjualan kue di pasar, sementara Bapaknya yang seorang pengangguran hanya bisa menghabiskan hasil jerih payah kerja keras ibunya, bahkan Dorlan membenci Bapaknya yang selalu bersenang-senang dengan perempuan lain. Akhirnya Dorlan membeci patriarki, istilah itupun didapatkannya dari lirik-lirik lagu punk yang mengecam keras budaya atas dominasi laki-laki. Dari sini lah Dorlan mulai menghargai perempuan. Ia tak mau menjadi laki-laki dengan maskulinitas hasil bentukan kultural, dominasi laki-laki.

Dorlan sebenarnya tak tahu harus berbuat apa untuk Gilang, namun insting kebencian terhadap patriarki pun muncul, bukan satu solusi tepat jika Gilang harus menggugurkan kandungan pacarnya, ia merasa pacar Gilang akan menjadi korban. Dari sebuah artikel yang pernah dibacanya aborsi di Indonesia justru menjadikan perempaun sebagai korban, masyarakat yang memandang kehamilan di luar institusi perkawinan sebagai aib keluarga, biaya aborsi yang aman di Indonesia sangat mahal untuk dijangkau masyarakat ekonomi bawah sepertinya, sehingga terpaksa harus dilakukan dengan cara yang tidak aman, banyak perempuan menanggung dampak kesehatan reproduksi yang buruk bahkan ada yang harus kehilangan nyawa karena kurang amannya aborsi yang dilakukan. Dorlan hanya tak ingin melihat perempuan-perempuan lain menjadi korban ketidakdilan seperti ibunya. Mungkin menikah memang satu jawaban, tapi itupun dirasa Dorlan bukan solusi terbaik juga, ia sangat mengenal Gilang, menghidupi dirinya saja sulit apalagi jika Gilang harus menanggung hidup istri dan anaknya. Dorlan masih merasa beruntung, ia bisa menamatkan pendidikan sampai STM, sementara Gilang terpaksa meninggalkan bangku SMP saat mereka kelas dua.

“Lha kowe siap ra nek rabi?”13 Dengan ketidaktahuan harus berbuat apa Dorlan terpaksa bertanya kepada Gilang.

“Terus piye lan, mangan opo anakku?”14 Sahut Gilang dengan pasrah.
*

Sore mulai menjajaki langit di hari sabtu, Dorlan masih harus menyelesaikan satu tambalan motor terakhirnya. Ia berkerja sebagai penambal ban di salah satu bengkel sederhana milik tetangganya di pinggir mall elektronik di daerah Gondomanan. Malam minggu biasa menjadi moment berkumpulnya anak punk di depan Gedung Agung di ujung selatan Malioboro, waktu memang berlalu sangat cepat, tak terasa hampir setengah tahun perbincangan Dorlan dan Gilang di jembatan Gondolayu itu, akhirnya Gilang nekat menikahi Mila pacarnya, Mila terpaksa tidak meneruskan sekolah dan memilih hidup apa adanya bersama Gilang, kabarnya orangtua Mila tak lagi mau tahu kehidupan anak perempuan malang itu, kini Gilang dan Mila menumpang tinggal di rumah orangtua Gilang bersama anak laki-laki mereka yang diberi nama Niro Marjino, terinspirasi dari nama grup band punk Marjinal. Dorlan sangat bangga pada keputusan yang dipilih Gilang, belum tentu jika masalah itu dihadapkan pada dirinya ia bisa terus survive, pikirnya. Kini Gilang bekerja sebagai tukang masak nasi goreng pinggir jalan, dalam seminggu ia bekerja paruh waktu dan mengambil libur hari sabtu agar selalu ada kesempatan untuk berkumpul dengan kawan-kawan punk Wirobrajan.

Hari memang terasa lelah, panas udara jogja tak juga kunjung membawa hembusan angin sore. Dorlan menerima upah kerja hari ini, tak lupa sepulang dari bengkel, ia mampir menengok adik perempuannya yang tinggal di rumah Bu De. Dorlan selalu menyisihkan sisa hasil jerih payah untuk adiknya yang kini telah SMA, teringat kala ia masih berada di SMP, adiknya menangis tak tahan tinggal di tempat Bu De, tapi itu adalah pilihan terbaik daripada harus tinggal bersama Bapak mereka. Sita, adik perempuan satu-satunya itu merasa lelah harus bangun sebelum subuh untuk membantu Bu De nya membikin kue, ia juga tak selalu di beri uang saku. Bersama Gilang kala itu Dorlan mengajak Sita menjadi tukang ojek payung di depan Mall Malioboro, ongkos dari hasil ojek lumayan untuk uang saku harian mereka.

Jalan di sepanjang Malioboro sangat ramai ketika malam minggu tiba, dengan sangarnya Dorlan mengayuh sepeda tinggi hasil rakitannya sendiri, kesangaran itu dirasa karena dandanan Dorlan menampakkan bahwa ia adalah anak punk sejati, rambut spiky berdiri tegak tak pernah goyah oleh angin malam karena kerasnya oli sebagai bahan dasar tatanan rambut itu. Dari kejauhan Dorlan berteriak menyapa kawan-kawannya yang bergerombol di kursi taman depan Gedung Agung yang dulu adalah Gedung Senisono tempat para seniman sekelas W.S Rendra bertengger.

“Oi…oi!!”. Sapaan khas anak punk yang diteriakkan Dorlan.

Diparkirnya sepeda tinggi bersandar di depan pagar putih Gedung Agung. Dorlan mengeluarkan sebotol kahlua dalam wadah bekas air mineral ukuran sedang. Gilang nampak diantara kawan-kawannya. Dorlan duduk di sebelah Gilang sambil menunggu giliran kahlua dalam gelas botol air mineral yang telah di potong sebelumnya oleh kawan mereka yang sengaja menjadi bandar. Solidaritas tampak pada anak-anak itu.

“Oi… Pak… Duwe anak meneh opo duwe bojo meneh kowe?”15 Tanya Dorlan kepada Gilang yang segera ditimpali tawa oleh kawan-kawannya yang lain.

“Lha jalukmu piye?”16 Gilang segera menimpali juga dengan tawa.

“Kowe iso melu nyetrit ra sesuk?”17 Tukas Dorlan membahasakan street dalam bahasa Inggris sebagai kegiatan mereka tour ke luar kota untuk menghadiri event punk.

“Jane yo pengen melu, tapi ra iso saiki aku dab.”18 Sahut Gilang.

“Ojo-ojo saiki kowe dadi suami-suami takut istri.”19 Timpal salah satu kawan mereka.

Gelak tawa terus menyempil di antara tegukan alkohol, malam semakin larut, biasanya mereka menghabiskan kegiatan di akhir pekan itu hingga menjelang pagi sambil menambah terus kahlua yang menipis dengan botol demi botol kahlua baru. Mata merah, badan yang semakin sempoyongan dan kalimat-kalimat yang meracau mulai terlihat karena efek minuman mereka raibkan bersama. Tiba-tiba Gilang melakukan invasi cutrhat colongan kepada Dorlan.

“Lan, sori sak durunge, perasaamu ditinggal ibumu piye?”20 Gilang hati-hati bertanya kepada Dorlan.

Saat kelas dua STM adalah masa yang menjadi puncak bagi Dorlan untuk benci terhadap dunia patriarki, kala itu, ia berasa benar-benar menjadi korban kekejaman ketidakadilan. Kehidupan lebih baik yang diimpikan ibunya justru berimbas nyawa, Ibu Dorlan menjadi salah satu perempuan tak berdosa yang menyerahkan nyawanya demi memungut kepingan devisa. Sepeninggalan Ibunya, Bapaknya kawin lagi. Dorlan semakin geram dan berpikir jika seorang perempuan ditinggal suaminya hal pertama yang dilakukan adalah bekerja keras untuk menghidupi anaknya, namun tidak dengan laki-laki, hal pertama yang dilakukan adalah mencari istri baru, entah diboncengi dengan tendensi apa tapi itulah kenyataan yang harus Dorlan hadapi.

Kepingan demi kepingan kehidupan tersusun pada lembar-lembar kertas dalam otaknya, Dorlan merasa hanyalah salah satu buku kecil dengan alunan cerita yang harus dijalani sampai lembar terakhir. Ia adalah tokoh utama dalam bukunya, tapi kenyataan membentur dan melahap sejengkal pilihan untuk menentukan alur. Demikian pula dengan Gilang, manusia yang seyogyanya memiliki hak untuk memilih namun tercatat menjadi tokoh yang tersangkut pada buku Dorlan dan harus menanggung kenyataan hidup, semuanya terangkai dalam sebuah cerita atas ketidakadilan yang selama ini ia pikirkan. Tak serta merta tanpa tujuan Gilang bertanya mengenai Ibu Dorlan, kehidupan yang semakin rumit menenggelamkan pilihan yang indah, istri Gilang berencana menjadi TKW. Sontak ingatan Dorlan berseteru dengan perempuan dan korban. Akan tetapi Gilang menangkap raut kekhawatiran pada wajah Dorlan, jelas pengalaman buruk itu membekas pada diri Dorlan. Sebuah penyesalan karena tak mampu menolong Ibunya. Dan Gilang tahu harus berbuat apa.
*

Dorlan sudah terlebih dulu minta cuti selama lima hari, tapi ia akan mengganti hari liburnya dengan kembali kerja dan menambah waktu lembur, untung Dorlan memiliki bos yang dapat diajak berkompromi. Dari beberapa minggu yang lalu ia menyusun rencana rapi nyetrit ke Bandung bersama kawan-kawannya. Event kali ini memang cukup besar, band-band punk terkenal akan menggegerkan arena, sebut saja Marjinal, Begundal Lowokwaru dan lainnya. Biasanya mereka berangkat dengan long mars dan melengkapi perbekalan gitar untuk mengamen, tak perlu membawa uang pun dijamin akan sampai di Kota Kembang.
Hari kamis pagi segerombolan anak punk sudah bersiap-siap di daerah Kuncen, Wirobrajan. Mereka berkumpulan di rumah salah satu pentolan atau tetua punk Wirobrajan. Waktu dua hari direncanakan akan sampai di Bandung meski acara itu digelar hari sabtu, tapi mereka menempuh perjalanan dengan menumpang kereta atau truk, tiap pemberhentian biasanya mereka melakukan aksi ngamen untuk sekedar dapat membeli nasi, minuman atau alkohol.

Belum seluruhnya kawan-kawan Dorlan terkumpul, masih ada beberapa orang yang harus ditunggu sebelum akhirnya mereka siap bertempur mengalahkan jalanan. Dorlan kaget sejenak, kawan karibnya yang sempat mengutarakan tak bisa ikut menakhlukkan jalanan beberapa minggu yang lalu tampak menyeringai dengan aura yang berbeda. Gilang langsung menggertak kawan-kawannya.

“Yo, mangkat!”21

“Ngopo e kowe dab?”22 Dorlan bergumam agak kebingungan.

“Ketoke iki nyetrit terakhurku dab, soale bojoku bakal ngrawat Niro, terus aku mangkat dadi TKI.”23 Gilang dengan bangganya menjelaskan kepada Dorlan.

Sebuah cerita akan segera tertata lewat tulisan indah dalam benak Dorlan, ia tak menyangka seorang Gilang telah menjadi sosok yang menyusup neuron saraf otaknya, Gilang memang tak mampu bergerak untuk menggenggam pilihan, tapi pilihan terakhir itu seakan adalah kertas yang sanggup menambal lubang rasa sakit Dorlan di lembar yang menuliskan kenyataan tentang ibunya.

Notes.
1  Habis nih mimunnya, beli lagi atau gimana?
2  Ga usah, aku ga ada uang.”
3  Halah, kaya apa aja kamu itu, aku masih ada uang kok.
4  Jangan, buat makan kamu aja Dab (sapaan akrab teman).
5  Kaya besok kamu mau mati aja?
6  Kamu punya uang brapa Lan?
7  Masih cukup lah untuk makan satu minggu? Kenapa?
8  Aku pinjam dulu boleh gak?
9  Kamu kenapa sih Lang?
10 Tak buat beli jamu, pijet, sama beli nanas muda.
11 O… pacarmu hamil?
12 Iya Lan, minta dinikahin.
13 Lha kamu udah siap kalau nikah?
14 Lha terus gimana, makan apa nanti anakku?
15 Oi… Pak… Punya anak lagi atau punya istri lagi.
16 Lha kamu mintanya gimana?
17 Kamu bisa ikutn nyetrit ga besok?
18 Benernya pengen ikut, tapi sekarang aku ga bisa Dab.
19 Jangan-jangan sekarang kamu itu suami-suami takut istri.
20 Lan, sori sebelumnya, gimana perasaanmu waktu ditinggal Ibu kamu
21 Yo, berangkat!
22 Kenapa e kamu Dab?
23 Kayanya ini nyetrit terakhirku, soalnya istri ga jadi berangkat, aku yang mau jadi TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;