Tweet |
Malam
yang menggelayutkan bulan di atas jembatan Gondolayu sebelah timur Tugu
Yogyakarta menapaki jejak Dorlan dan Gilang yang tercatat sebagai anggota punk
Wirobrajan. Tak seperti malam-malam biasanya mereka berada di atas aliran Kali
Code yang membelah kota Jogja bersama segerombolan kawan-kawan punk jalanan,
saling beradu dengan lampu jalan serta cahaya bulan yang jatuh keemasan di atas
aliran air itu. Malam ini nampaknya bulan serasa luruh di pangkuan mereka,
Dorlan dan Gilang hanya berdua duduk di tepi trotoar jalan sambil meneguk
bergantian sebotol kahlua yang terisi dalam botol bekas air mineral. Minuman
yang biasa menjadi menu tiap malam bersama kawan-kawan jalanan mereka. Tak satu
pun dari wajah dua bocah berusia sembilan belas tahun itu memperlihatkan efek
alkohol yang mereka teguk, namun mata Gilang tak mampu menyembunyikan sesuatu,
tampak merah meski bukan karena kehangatan alkohol hasil olahan daerah Pajeksan
gang kecil di areal Malioboro, yang menjadi langganan pengemar minuman produksi
rumahan.
Dorlan
melihat beda kawan karibnya itu, ada sesuatu yang lain malam ini, Dorlan berani
menebak bahwa Gilang mempunyai satu masalah yang membuatnya tersudut menjadi
bulir-bulir air mata yang tak segera jatuh namun menjadikan sepasang matanya
merah membara.
Dorlan sangat mengenal Gilang, kawan sehidup sematinya sejak
mereka duduk di bangku taman kanak-kanak, mengapa tidak, jarak rumah mereka
yang berdekatan dibantaran sungai di daerah Sayidan, gang-gang kecil dan
rumah-rumah yang sesak seperti daerah koloni tanpa tata letak ruang yang apik
membuat Dorlan dan Gilang serasa hidup di bawah satu atap. Kali ini Dorlan tak
berani bertanya, apa gerangan yang menyebabkan kawannya seperti kehilangan
keberanian, meski Dorlan selalu menganggap bahwa Gilang adalah salah satu teman
yang tak pernah gentar menghadapi bahaya. Sayup-sayup
akhirnya Dorlan mengeluarkan suara juga, namun dengan penuh hati-hati, seperti
tak sedang terjadi apa-apa.
“Entek
ki lang ngombene, tuku meneh piye?”1
“Ra
sah, ra nono duit aku.”2 Sahut Gilang.
“Halah
koyo ngopo wae kowe ki, aku isih ono duit dab.”3 Dorlan berusaha
meyakinkan Gilang selayaknya komitmen natural yang biasa mereka lakukan bahwa
uang adalah benda untuk berdua.
“Ojo,
nggo mangan kowe sesuk wae dab.”4
“Kowe
ngopo to koyo sesuk arep mati wae?”5 Dorlan berusaha mencairkan
suasana dengan kalimat canda yang sarkas.
“Kowe
duwe duit piro lan?6
Gilang
seperti kehilangan kekuatan, pandangan matanya kosong, keling, peniti dan
emblem-emblem yang meninghiasi baju serta celanannya tak mampu membuat Gilang
tampak sebagai anak punk yang penuh keberanian, baru saja ia mendapat kabar
bahwa pacarnya telat haid satu minggu, namun Gilang tak juga berani berterus
terang kepada Dorlan.
“Isih
ono nggo mangan seminggu? Ngopo e?”7 sahut Dorlan atas pentanyaan
Gilang.
“Tak
jilih sikek oleh ra?”8
“Ngopo
e kowe lang?”9 Tukas Dorlan sambil meraba-raba apa yang sedang
terjadi pada temannya.
“Tak
nggo tuku jamu, nang tukang pijet karo tuku nanas enom.”10
“Oalah
bojomu meteng po?”11 Sahut Dorlan dengan nada ceplas-ceplos seolah
hanya dihadapkan dengan masalah sepele.
“Ho’o
lan, bojoku jaluk dirabi e.”12 Tegas Gilang sambil menerima rokok
yang baru dihisap Dorlan.
Dalam
kamus Dorlan dan Gilang apapun yang menjadi milik mereka adalah untuk berdua,
pun masalah yang dihadapi satu sama lain, namun kali ini Dorlan tak memiliki
hak untuk ikut andil dalam persoalan satu itu. Dorlan sangat menghargai
perempuan, ia adalah seorang anak yang tumbuh besar dengan idealisme sosial
tinggi karena terbentuk dari kritik-kritik pedas punk yang dilontarkan lewat
musik dan tindakan-tindakan anarkis atas ketidakadilan sosial yang
dirasakannya. Ia selalu mengingat bagaimana ibunya, seorang perempuan yang
menanggung ketidakadilan serta penderitaan karena konstruksi sosial yang
membuatnya ikut merasakan menjadi salah satu korban. Sejak kelas dua SMP Dorlan
ditinggal ibunya yang tak punya pilihan untuk terus melanjutkan hidup dengan
menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi, namun tak juga membuat kehidupan
keluarga Dorlan membaik, adik perempuan yang berjarak tiga tahun dengannya
terpaksa dititipkan kepada Bu De Dorlan untuk membantu berjualan kue di pasar,
sementara Bapaknya yang seorang pengangguran hanya bisa menghabiskan hasil
jerih payah kerja keras ibunya, bahkan Dorlan membenci Bapaknya yang selalu
bersenang-senang dengan perempuan lain. Akhirnya Dorlan membeci patriarki,
istilah itupun didapatkannya dari lirik-lirik lagu punk yang mengecam keras
budaya atas dominasi laki-laki. Dari sini lah Dorlan mulai menghargai
perempuan. Ia tak mau menjadi laki-laki dengan maskulinitas hasil bentukan
kultural, dominasi laki-laki.
Dorlan
sebenarnya tak tahu harus berbuat apa untuk Gilang, namun insting kebencian
terhadap patriarki pun muncul, bukan satu solusi tepat jika Gilang harus
menggugurkan kandungan pacarnya, ia merasa pacar Gilang akan menjadi korban.
Dari sebuah artikel yang pernah dibacanya aborsi di Indonesia justru menjadikan
perempaun sebagai korban, masyarakat yang memandang kehamilan di luar institusi
perkawinan sebagai aib keluarga, biaya aborsi yang aman di Indonesia sangat
mahal untuk dijangkau masyarakat ekonomi bawah sepertinya, sehingga terpaksa
harus dilakukan dengan cara yang tidak aman, banyak perempuan menanggung dampak
kesehatan reproduksi yang buruk bahkan ada yang harus kehilangan nyawa karena
kurang amannya aborsi yang dilakukan. Dorlan hanya tak ingin melihat
perempuan-perempuan lain menjadi korban ketidakdilan seperti ibunya. Mungkin
menikah memang satu jawaban, tapi itupun dirasa Dorlan bukan solusi terbaik
juga, ia sangat mengenal Gilang, menghidupi dirinya saja sulit apalagi jika
Gilang harus menanggung hidup istri dan anaknya. Dorlan masih merasa beruntung,
ia bisa menamatkan pendidikan sampai STM, sementara Gilang terpaksa
meninggalkan bangku SMP saat mereka kelas dua.
“Lha
kowe siap ra nek rabi?”13 Dengan ketidaktahuan harus berbuat apa
Dorlan terpaksa bertanya kepada Gilang.
“Terus
piye lan, mangan opo anakku?”14 Sahut Gilang dengan pasrah.
*
Sore
mulai menjajaki langit di hari sabtu, Dorlan masih harus menyelesaikan satu
tambalan motor terakhirnya. Ia berkerja sebagai penambal ban di salah satu
bengkel sederhana milik tetangganya di pinggir mall elektronik di daerah
Gondomanan. Malam minggu biasa menjadi moment berkumpulnya anak punk di depan
Gedung Agung di ujung selatan Malioboro, waktu memang berlalu sangat cepat, tak
terasa hampir setengah tahun perbincangan Dorlan dan Gilang di jembatan
Gondolayu itu, akhirnya Gilang nekat menikahi Mila pacarnya, Mila terpaksa
tidak meneruskan sekolah dan memilih hidup apa adanya bersama Gilang, kabarnya
orangtua Mila tak lagi mau tahu kehidupan anak perempuan malang itu, kini
Gilang dan Mila menumpang tinggal di rumah orangtua Gilang bersama anak
laki-laki mereka yang diberi nama Niro Marjino, terinspirasi dari nama grup
band punk Marjinal. Dorlan sangat bangga pada keputusan yang dipilih Gilang,
belum tentu jika masalah itu dihadapkan pada dirinya ia bisa terus survive, pikirnya. Kini Gilang bekerja
sebagai tukang masak nasi goreng pinggir jalan, dalam seminggu ia bekerja paruh
waktu dan mengambil libur hari sabtu agar selalu ada kesempatan untuk berkumpul
dengan kawan-kawan punk Wirobrajan.
Hari
memang terasa lelah, panas udara jogja tak juga kunjung membawa hembusan angin
sore. Dorlan menerima upah kerja hari ini, tak lupa sepulang dari bengkel, ia
mampir menengok adik perempuannya yang tinggal di rumah Bu De. Dorlan selalu
menyisihkan sisa hasil jerih payah untuk adiknya yang kini telah SMA, teringat
kala ia masih berada di SMP, adiknya menangis tak tahan tinggal di tempat Bu
De, tapi itu adalah pilihan terbaik daripada harus tinggal bersama Bapak
mereka. Sita, adik perempuan satu-satunya itu merasa lelah harus bangun sebelum
subuh untuk membantu Bu De nya membikin kue, ia juga tak selalu di beri uang
saku. Bersama Gilang kala itu Dorlan mengajak Sita menjadi tukang ojek payung
di depan Mall Malioboro, ongkos dari hasil ojek lumayan untuk uang saku harian
mereka.
Jalan
di sepanjang Malioboro sangat ramai ketika malam minggu tiba, dengan sangarnya
Dorlan mengayuh sepeda tinggi hasil rakitannya sendiri, kesangaran itu dirasa
karena dandanan Dorlan menampakkan bahwa ia adalah anak punk sejati, rambut spiky berdiri tegak tak pernah goyah
oleh angin malam karena kerasnya oli sebagai bahan dasar tatanan rambut itu.
Dari kejauhan Dorlan berteriak menyapa kawan-kawannya yang bergerombol di kursi
taman depan Gedung Agung yang dulu adalah Gedung Senisono tempat para seniman sekelas
W.S Rendra bertengger.
“Oi…oi!!”.
Sapaan khas anak punk yang diteriakkan Dorlan.
Diparkirnya
sepeda tinggi bersandar di depan pagar putih Gedung Agung. Dorlan mengeluarkan
sebotol kahlua dalam wadah bekas air mineral ukuran sedang. Gilang nampak
diantara kawan-kawannya. Dorlan duduk di sebelah Gilang sambil menunggu giliran
kahlua dalam gelas botol air mineral yang telah di potong sebelumnya oleh kawan
mereka yang sengaja menjadi bandar. Solidaritas tampak pada anak-anak itu.
“Oi…
Pak… Duwe anak meneh opo duwe bojo meneh kowe?”15 Tanya Dorlan
kepada Gilang yang segera ditimpali tawa oleh kawan-kawannya yang lain.
“Lha
jalukmu piye?”16 Gilang segera menimpali juga dengan tawa.
“Kowe
iso melu nyetrit ra sesuk?”17 Tukas Dorlan membahasakan street dalam bahasa Inggris sebagai
kegiatan mereka tour ke luar kota
untuk menghadiri event punk.
“Jane
yo pengen melu, tapi ra iso saiki aku dab.”18 Sahut Gilang.
“Ojo-ojo
saiki kowe dadi suami-suami takut istri.”19 Timpal salah satu kawan
mereka.
Gelak
tawa terus menyempil di antara tegukan alkohol, malam semakin larut, biasanya
mereka menghabiskan kegiatan di akhir pekan itu hingga menjelang pagi sambil
menambah terus kahlua yang menipis dengan botol demi botol kahlua baru. Mata
merah, badan yang semakin sempoyongan dan kalimat-kalimat yang meracau mulai
terlihat karena efek minuman mereka raibkan bersama. Tiba-tiba Gilang melakukan
invasi cutrhat colongan kepada Dorlan.
“Lan,
sori sak durunge, perasaamu ditinggal ibumu piye?”20 Gilang
hati-hati bertanya kepada Dorlan.
Saat
kelas dua STM adalah masa yang menjadi puncak bagi Dorlan untuk benci terhadap
dunia patriarki, kala itu, ia berasa benar-benar menjadi korban kekejaman
ketidakadilan. Kehidupan lebih baik yang diimpikan ibunya justru berimbas
nyawa, Ibu Dorlan menjadi salah satu perempuan tak berdosa yang menyerahkan
nyawanya demi memungut kepingan devisa. Sepeninggalan Ibunya, Bapaknya kawin
lagi. Dorlan semakin geram dan berpikir jika seorang perempuan ditinggal
suaminya hal pertama yang dilakukan adalah bekerja keras untuk menghidupi
anaknya, namun tidak dengan laki-laki, hal pertama yang dilakukan adalah
mencari istri baru, entah diboncengi dengan tendensi apa tapi itulah kenyataan
yang harus Dorlan hadapi.
Kepingan
demi kepingan kehidupan tersusun pada lembar-lembar kertas dalam otaknya,
Dorlan merasa hanyalah salah satu buku kecil dengan alunan cerita yang harus
dijalani sampai lembar terakhir. Ia adalah tokoh utama dalam bukunya, tapi
kenyataan membentur dan melahap sejengkal pilihan untuk menentukan alur.
Demikian pula dengan Gilang, manusia yang seyogyanya memiliki hak untuk memilih
namun tercatat menjadi tokoh yang tersangkut pada buku Dorlan dan harus
menanggung kenyataan hidup, semuanya terangkai dalam sebuah cerita atas
ketidakadilan yang selama ini ia pikirkan. Tak serta merta tanpa tujuan Gilang
bertanya mengenai Ibu Dorlan, kehidupan yang semakin rumit menenggelamkan pilihan
yang indah, istri Gilang berencana menjadi TKW. Sontak ingatan Dorlan berseteru
dengan perempuan dan korban. Akan tetapi Gilang menangkap raut kekhawatiran
pada wajah Dorlan, jelas pengalaman buruk itu membekas pada diri Dorlan. Sebuah
penyesalan karena tak mampu menolong Ibunya. Dan Gilang tahu harus berbuat apa.
*
Dorlan
sudah terlebih dulu minta cuti selama lima hari, tapi ia akan mengganti hari
liburnya dengan kembali kerja dan menambah waktu lembur, untung Dorlan memiliki
bos yang dapat diajak berkompromi. Dari beberapa minggu yang lalu ia menyusun
rencana rapi nyetrit ke Bandung bersama kawan-kawannya. Event kali ini memang cukup besar, band-band punk terkenal akan menggegerkan
arena, sebut saja Marjinal, Begundal Lowokwaru dan lainnya. Biasanya mereka
berangkat dengan long mars dan
melengkapi perbekalan gitar untuk mengamen, tak perlu membawa uang pun dijamin
akan sampai di Kota Kembang.
Hari
kamis pagi segerombolan anak punk sudah bersiap-siap di daerah Kuncen,
Wirobrajan. Mereka berkumpulan di rumah salah satu pentolan atau tetua punk
Wirobrajan. Waktu dua hari direncanakan akan sampai di Bandung meski acara itu
digelar hari sabtu, tapi mereka menempuh perjalanan dengan menumpang kereta
atau truk, tiap pemberhentian biasanya mereka melakukan aksi ngamen untuk
sekedar dapat membeli nasi, minuman atau alkohol.
Belum
seluruhnya kawan-kawan Dorlan terkumpul, masih ada beberapa orang yang harus
ditunggu sebelum akhirnya mereka siap bertempur mengalahkan jalanan. Dorlan kaget
sejenak, kawan karibnya yang sempat mengutarakan tak bisa ikut menakhlukkan
jalanan beberapa minggu yang lalu tampak menyeringai dengan aura yang berbeda.
Gilang langsung menggertak kawan-kawannya.
“Yo,
mangkat!”21
“Ngopo
e kowe dab?”22 Dorlan bergumam agak kebingungan.
“Ketoke
iki nyetrit terakhurku dab, soale bojoku bakal ngrawat Niro, terus aku mangkat
dadi TKI.”23 Gilang dengan bangganya menjelaskan kepada Dorlan.
Sebuah
cerita akan segera tertata lewat tulisan indah dalam benak Dorlan, ia tak
menyangka seorang Gilang telah menjadi sosok yang menyusup neuron saraf
otaknya, Gilang memang tak mampu bergerak untuk menggenggam pilihan, tapi
pilihan terakhir itu seakan adalah kertas yang sanggup menambal lubang rasa
sakit Dorlan di lembar yang menuliskan kenyataan tentang ibunya.
Notes.
1 Habis nih mimunnya, beli lagi atau gimana?
2 Ga usah, aku ga ada uang.”
3 Halah, kaya apa aja kamu itu, aku masih ada
uang kok.
4 Jangan, buat makan kamu aja Dab (sapaan akrab
teman).
5 Kaya besok kamu mau mati aja?
6 Kamu punya uang brapa Lan?
7 Masih cukup lah untuk makan satu minggu? Kenapa?
8 Aku pinjam dulu boleh gak?
9 Kamu kenapa sih Lang?
10 Tak buat
beli jamu, pijet, sama beli nanas muda.
11 O…
pacarmu hamil?
12 Iya Lan,
minta dinikahin.
13 Lha kamu
udah siap kalau nikah?
14 Lha terus
gimana, makan apa nanti anakku?
15 Oi… Pak… Punya
anak lagi atau punya istri lagi.
16 Lha kamu
mintanya gimana?
17 Kamu bisa
ikutn nyetrit ga besok?
18 Benernya
pengen ikut, tapi sekarang aku ga bisa Dab.
19 Jangan-jangan
sekarang kamu itu suami-suami takut istri.
20 Lan, sori
sebelumnya, gimana perasaanmu waktu ditinggal Ibu kamu
21 Yo, berangkat!
22 Kenapa e
kamu Dab?
23 Kayanya
ini nyetrit terakhirku, soalnya istri ga jadi berangkat, aku yang mau jadi TKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar