Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Rabu, 09 November 2011

FRASE TENTANG FRAZA

Fraza terlalu kecil untuk mengerti semua, dalam tubuh mungilnya ia hanya mepunyai ukuran otak separuh orang dewasa, tentu saja karena Fraza hanyalah anak berumur sembilan tahun, namun kemampuan yang dimiliki melebihi anak seusianya. Fraza pandai bermain kata-kata, bakat itu diturunkan dari ibunya yang seorang wartawan harian lokal. Ia tinggal berdua dengan Reza, ibunya. Tiga tahun lalu orangtuanya bercerai. Sejak sekolah di taman kanak-kanak ia memperlihatkan tingkah yang aneh, Fraza pemberani bahkan kadang-kadang wajah lucu itu tak patas memiliki keberanian menantang bahaya. Cara bertutur dan suka bercerita lah membuat gadis kecil yang selalu bergaya rambut pendek ini membuat gemas orang-orang yang mendengar tiap kali ia bertutur dengan intonasi lentur. Pelajaran bahasa Indonesia menjadi salah satu favoritnya, Fraza adalah murid kesayangan guru pada pelajaran itu, tak lain karena ia pandai mengarang. Kali ini di kelas tiga Fraza mendapat tugas mengarang cerita tentang hari kartini. Ingatannya langsung berputar pada pengalaman kecil saat berada di TK O besar.
***


Siang itu tak seperti biasanya, sekolah TK Islam Terpadu yang terletak di daerah Sagan dekat Universitas Gajah Mada Yogyakarta menjadi saksi jiwa pemberani Fraza. Hari yang panas menyambut anak-anak kecil berlarian keluar dari kelas,
beberapa teman Fraza langsung menyambar plorotan, teman-teman yang lain siap merengkuh bahu ibu mereka untuk mendapatkan dekapan kerinduan setelah hampir setengah hari bergulat dengan berbagai pelajaran yang dirancang melalui permainan. Anak-anak tak berdosa berpeluh keringat hingga tercium bau amis bagi orang dewasa yang berada di area itu. Sungguh hebat memang guru-guru TK, dengan ikhlas membiarkan sebagian harinya diisi oleh bau keringat anak-anak yang hanya memehami arti sebuah kenyamanan.

Rambut Fraza melebihi bahu, seragam sekolah yang mengharuskan siswa perempuan mengenakan jilbab membuat gerah anak-anak yang memang selalu aktif. Poni tipis Fraza dibalik jilbab putih itu sudah tak beraturan, saling beradu keluar dan sedikit basah karena peluh yang berlomba mengguyur dahinya. Siang ini ia tak melihat ibunya menjemput tepat waktu seperti biasa, terpaksa sembari menunggu, Fraza bermain ayunan dengan menggendong tas pink bergambar Barbie. Satu per satu teman-temannya mulai meninggalkan sekolah, sayup suara sepi segera menyambar, tinggallah ibu guru di dalam kelas dan seorang teman bernama Nino. Teman Fraza yang satu ini terkenal nakal, Fraza hanya melirik Nino yang bernasib sama menunggu jemputan seperti dirinya, Nino mendekati Fraza dan merebut ayunan yang sedang di dudukinya, namun sekuat tenaga Fraza mempertahankan dan mendorong Nino hingga terjatuh. Nino berlari ke dalam kelas menuju tempat Ibu guru sambil berteriak megadu.

“Monster… U Us ada monster!” Teriak Nino memanggil Ibu Guru dengan sebutan Ustadzah.

Fraza terkenal sebagai anak perempuan dengan keberanian tinggi, ia tak gentar menghadapi anak laki-laki yang menjahilinya. Fraza juga bukan seorang anak yang cengeng. Ia selalu mengigat pesan ibunya untuk tak boleh menangis, meski pesan yang sampaikan kepada Fraza itu tak jarang dibarengi dengan tangisan karena baru saja dipukul oleh ayahnya. Tak lama ibunya datang dengan pakaian rapi ber-blazer hitam dan sepatu fantovel jinjit, Ibu Fraza sengaja menjeput telat karena baru saja datang pada interview pekerjaan yang akan segera digeluti. Setelah melahirkan Fraza, Reza memilih total menjadi ibu rumah tangga. Namun totalitas itu diurungkannya seiring kekecewaan yang tumbuh kepada Farhan suaminya. Yah, nama Fraza adalah gabungan dari nama kedua orangtuanya Farhan dan Reza. Semula Farhan adalah suami religius dan menjadi guru agama bagi Reza, hingga ia memilih meninggalkan idealisme sebagai perempuan mandiri degan sebuah totalitas menjadi ibu rumah tangga. Namun saat grafik frekuensi ketotalan Reza linear, Farhan merusak semuanya dengan keinginan poligami untuk menolong seorang janda katanya. Sontak Reza pun muntab mendengar rencana Farhan yang dahulu anti terhadap kata pacaran, kini mengutarakan sedang dalam proses ta’aruf bersama janda itu. Reza enggan menerima alasan apapun yang dianggapnya hanya sebuah tendensi atas birahi seorang laki-laki. Hari demi hari menjadi suatu bombardir bagi Fraza, anak perempuan kecil yang baru berusia enam tahun itu terpaksa menjadi saksi pertengkaran bahkan pukulan-pukulan yang dilakukan Farhan. Tapi Fraza sama sekali tak mengerti tentang semua, ia terlampau sangat kecil memahami arti pertengkaran. Bisa dikata keberanian Fraza mulai muncul karena sering melihat kekerasan yang dilakukan Ayahnya. Dalam keadaan seperti ini Fraza akan berkata “Mama ga boleh nangis!”.

Fraza berteriak gembira ibunya datang, Ustadzah yang akan segera pulang keluar dari kelas bersama Nino serta mamanya. Guru TK yang menggenakan hijab panjang itu melaporkan tindakan Fraza kepada Reza yang telah medorong Nino hingga jatuh. Segera Reza meminta maaf pada ibu Nino dan menyuruh anak perempuannya berjabat tangan.

“Ka Aca minta maaf sama Nino, besok-besok ga boleh diulangi lagi ya!”

“Nino maafin Aca ya, Aca janji ga akan ngulangi lagi tapi Nino juga janji ga boleh nakal sama Aca.” Pinta Fraza dengan kalimat lugunya sambil menjabat tangan Nino.

Nino yang memang berwajah tengil hanya menganggukkan kepada lalu bersembunyi di balik lengan ibunya. Sekolah TK segera tak berpenghuni setelah semua berlalu pergi dari halaman. Fraza dan Reza melintas di jalan solo dalam bus angkutan kota Trans Jogja, sebuah jalan komplek pertokoan di Yogyakarta. Bus Kota berhenti di halte Jalan Sudirman depan minimarket 24 jam yang selalu ramai dipenuhi muda mudi ketika malam tiba. Reza mengajak Fraza berjalan menuju restoran cepat saji di sebuah mall kecil yang berjarak seratus meter dari halte itu. Dengan halapnya mulut mungil Fraza menghabiskan spageti yang kemudian didorongnya dengan segelas es lemon tea.

“Mama. Aca boleh minta es krim cokelat tiga?”

“Buat apa tiga Ka?”

“Buat Aca, Mama, yang satu lagi buat oleh-oleh Abi.” Sahut Fraza.

“Satu aja ya ka, Mama lagi ga kepingin makan es krim, terus kalo buat oleh-oleh Abi nanti memeleh sampe rumah.”

“Lagian mulai sekarang kita harus hemat, Abi udah ga memberi uang buat kita, Mama ga punya banyak uang, jadi Kaka ga boleh minta yang aneh-aneh ya!”Tambah Reza.

“Oke Mama.” Fraza menyetujui.

Setelah es cone cokelat berada digenggaman Fraza, mereka berdua keluar restoran menuju salon yang juga berada di dalam mall.

“Kaka ingat ga kata-kata Mama.” Tanya Reza sembari berlajan.

“Apa Ma?” Fraza bertanya balik sambil menjilat es krim yang hampir seperempat akan segera raib oleh mulut kecilnya.

“Kaka harus mandiri, sebentar lagi kan kaka SD, apalagi Mama mulai besok udah harus kerja.” Reza mencoba menjawab dengan hati-hati.

Fraza mengangguk lalu mereka masuk salon dan duduk di kursi tunggu yang disediakan salon itu.

“Kaka rambutnya dipotong ya biar rapi, soalnya biar kaka gampang merawatnya kalo Mama sibuk kerja.”

Fraza kembali mengangguk sembari mengunyah gigitan terakhir cone es krim toping cokelatnya. Mereka segera disambut oleh pegawai salon langganan Mamanya yang agak bertingkah seperti perempuan meski ia adalah laki-laki tulen.
***

Fraza berkali-kali menuju cermin pada meja rias di dalam kamar ibunya sambil terus melihati rambut baru yang super pendek seperti laki-laki.

“Kaka kenapa? Bagus ko rambutnya.” Bujuk Reza karena mengetahui anak perempuannya menyesal telah berambut pendek.

“Aca kaya monster.” Gumam Fraza.

“Ya enggak lah, mana ada monster secantik Kaka.” Reza kembali membujuk.

“Barbie kan ga ada Ma yang rambutnya kaya laki-laki.”

“Cantik kan ga harus kaya Barbie sayang, Kaka udah kaya Agnes Monica ko, meskipun berambut kaya laki-laki tapi tetap cantik, cantik itu tidak hanya bisa dilihat sama mata ka, tapi hati juga harus cantik.”

“Terus nanti kalau hari hartini rambut Aca ga bisa disanggul, pasti Nino bilang kalau Aca kaya monster.”

“Emangnya kalau hari kartini harus berdandan seperti kartini Ka, kan pahlawan perempuan di Indonesia banyak.”

“Terus Aca nanti ga dandan kaya pas O kecil.” Sahut gadis kecil lucu itu.

“Mama punya buku pahlawan, nanti kita lihat dandanan pahlawan-pahlawan perempuan yang lain ya?” Bujuk mamanya yakin.

Fraza mengangguk dan menunggu ibunya mengambilkan buku pahlawan Indonesia, setelah dibuka lembar demi lembar sambil mendengarkan cerita ibunya tentang pahlawan-pahlawan, akhirnya ia memilih akan berdandan seperti Tjut Njak Dien. Menurutnya karakter Tjut Njak Dien mencuri perhatian, tak gentar terjun langsung ke medan perang sambil membawa rencong dan meneriakkan panji-panji untuk mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda.

“Mama, nanti baju Aca gimana?”. Tukas Fraza bingung setelah memutuskan ingin berdandan ala Tjut Njak Dien.

“Nanti mama buatkan sayang, kita jahitin baju ya.”

“Oke Mama, pasti Aca cantik dan pemberani kaya Tjut Njak Dien.”

Reza tersenyum melihat anaknya yang cerdas, namun kebersamaan ibu dan anak itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba Farhan datang dan segera membuat Fraza memasang radar was-was untuk menolong Reza kalau-kalau perempuan yang telah melahirkannya itu kembali disakit oleh Ayahnya. Reza menyuruh Fraza masuk ke kamarnya. Meski tujuan Reza mencegah agar suara pertikaian itu tak terdengar oleh telinga Fraza, tapi Farhan seorang yang sangat egois menurut Reza, enggan berkompromi tentang apapun dan membiarkan Fraza mendengar bahkan melihat pertengkaran. Reza sangat geram terhadap tingah Farhan, akhirnya ia membiarkan suaminya itu memilih bersama seorang janda lalu membiarkan nasib dirinya akan berakhir di pengadilan agama.

Akhir-akhir ini Farhan jarang pulang ke rumah, proses perceraian mereka tak kunjung usai, kadang Fraza enggan bertemu dengan Ayahnya, namun kadang-kadang rasa rindu tak dapat diusir dan membuat Fraza selalu ingat kebiasaan membelikan sesuatu untuk oleh-oleh jika ia sedang belanja bersama ibunya.
***

Anak yang malang itu jelas tak mengerti apa-apa, kadang Fraza terlihat murung di kelas. Kemurungan lebih sering terjadi semenjak ibunya tak pernah lagi mengantar atau menjemput Fraza ke sekolah. Setelah Reza memutuskan untuk bekerja, Fraza terpaksa memiliki tukang becak langganan. Kini tak ada lagi bahu seorang ibu yang siap direngkuh saat jam pelajaran sekolah usai, dan tak ada lagi tangan yang mengusap atau sekedar merapikan poni tipisnya yang keluar dari kerudung putih saat di depan sekolah. Terkadang Fraza merasa iri kepada teman-teman atas sebuah kerinduan dijemput oleh ibu, tapi Fraza selalu mengigat kata-kata ibunya untuk belajar mandiri.

Siang ini nenek datang ke sekolah, dengan ijin Ibu guru, Fraza tak pulang bersama tukang becak dan ikut ke rumah nenek. Setiap hari tak lupa Fraza membawa buku pahlawan Indonesia. Ia begitu gembira karena keesokan harinya adalah hari Kartini yang begitu dinanti-nanti. Baju yang dijanjikan ibunya untuk acara tersebut sudah selesai di jahit. Setibanya di rumah nenek, Fraza bertemu dengan ayahnya, Fraza merasa takut dan langsung pergi ke kamar nenek. Ia tak mengerti sebenarnya hari ini adalah drama penyandraan karena besok adalah hari putusan perceraian orangtuanya. Ibu Farhan yang berumur enam puluh tahun itu menyusul Fraza ke kamar.

“Fraza kenapa nak?”

“Aca takut eyang.” Ungkapnya dengan nada terbata.

“Takut sama Abi po?”

“Soalnya Abi sekarang sering mukulin Mama.” Jawab Fraza spontan.

“Itu bukan salah Abi, karena Mama Fraza aja yang ga mau nurut sama Abi.” Sahut nenek yang mengelabuhi Fraza atas pembelaannya pada Farhan.

Nenek Fraza tinggal berdua dengan pembantunya, suaminya meninggal setahun yang lalu. Farhan adalah anak kesayangannya karena dianggap seorang anak yang religius. Nenek mengginginkan Fraza jatuh di asuan Farhan.

“Fraza besok libur sekolah dulu ya.” Pinta Nenek.

“Tapi besok Hari Kartini Eyang.” Sanggah Fraza.

“Pokoknya Fraza harus nurut sama Eyang dulu.” Nenek berusaha menyanggah Fraza.

Fraza merasa sedih, besok ia tak bisa ikut merayakan hari Kartini di sekolahnya yang biasa dijalankan dengan ritual pawai, Fraza mulai menanggis.

“Aca mau pulang!!” Fraza berteriak dalam tangisannya.

“Udah, Fraza di rumah Eyang dulu pokoknya, ga boleh pulang.” Tukas nenek dengan sedikit kasar.
Fraza semakin menangis histeris karena suara keras neneknya.
***

Malam hari tiba, baju-baju Fraza memang sengaja di curi ayahnya. Dalam travel bag ia pikir baju yang akan dikenakan untuk Hari Kartini besok terbawa diantara baju-baju yang lain, tangan mungil itu membongkar baju demi baju, urung pencarinnya di akhiri dengan tangisan, ia keluar kamar. Nenek dan Ayahnya sedang tidak di rumah, hanya ada pembantu yang sedang memasak untuk makan malam. Fraza menuju jemuran dan menemukan kain batik milik neneknya, ia segera meraih kain itu dan membawanya ke kamar yang dahulu bekas kamar ayahnya, Fraza juga mengambil gunting, tak lupa buku pahlawan pun dibawanya. Dalam kamar berukuran empat kali enam Fraza mulai mengotak-atik kain, dipotongnya kain menjadi ikat kepala, bentuk persegi panjang untuk ikat pinggang dan sisanya akan digunakan sebakai jarik. Ia memasukkan benda-benda itu ke dalam tas pink yang setiap hari dikenakan ke sekolah. Fraza kembali keluar menuju dapur dan mengambil sebilah bendo. Kini dengan membawa tas yang berisi barang-barang hasil otak-atik dan juga bendo ia menuju kamar nenek. Dilihatinya sekeliling kamar itu. Tepat di meja rias, otak kecil Fraza mulai bekerja, ada bedak dan lisptik serta alat-alat kosmetik yang lain. Dengan penasarannya Fraza mengoleskan lipstick di bibir. Tak lama pintu kamar itu terbuka, nenek kaget menemukan Fraza dengan wajah penuh belepotan alat-alat make up nya.

“Fraza, kowe ngopo wae to nok.” Gertak nenek sambil menghapus make up di wajah Fraza.

“Cah cilik ra oleh ngenggo ngene iki.” Tambah nenek.

Tanpa menjawab apapun bibir Fraza berkelu, dari matanya telah keluar tetes demi tetes air.
***

Pagi hari menjelang, terang menyelinap kamar nenek dari sela-sela korden yang terpasang di jendela kamar. Fraza masih terbaring di kasur, disampingnya sudah tak ditemui nenek. Fraza langsung bergegas bangun, ia melihat jam menunjukkan pukul delapan, acara hari Kartini dimulai pukul sepuluh. Fraza keluar kamar menuju kamar mandi.

“Fraza mau dimandikan sama Lek?” Sapa pembantu dengan panggilan Bu Lek.

Fraza hanya menggelengkan kepala dan segera menutup pintu kamar mandi. Selesainya mandi ia mempraktikkan percobaannya semalam. Alih-alih wajah mungil itu tersulap alat kosmetik menjadi cantik, wajah Fraza menjadi putih belepotan oleh bedak, lipstick yang dioleskan di bibir juga tampak tak rapi. Meski dalam dandanan sedikit hancur, make up diwajah Fraza dirasanya cukup, kini ia mengeluarkan benda-benda dalam tasnya, dengan kaos polos berwarna putih dan legging hitam tiga perempat yang dikenakannya, Fraza menambah kain jarik yang dipasang pendek di atas lutut, kain persegi panjang tak lupa ia silangkan asimetris di bahu sebelum menambah ikat pinggang yang juga dari potongan kain, busana yang lebih tepat terkesan compang camping itu disempurnakannya dengan ikat kepala. Ada yang kurang dari hasil dandanannya, yah, bendo yang dicurinya di dapur Lek, Fraza menyelipkan bendo di depan perut yang tertahan oleh ikat pinggang, sedikit mengerikan bagi orang yang melihat, untungnya bendo itu tidak terlalu tajam.

Fraza memutuskan untuk berangkat ke sekolah, ia menghitung uang dari dalam tasnya. Anak kecil yang malang penuh keberanian itu menyelinap keluar rumah diam-diam tanpa sepengetahuan pembatu nenek. Dengan wajah tak berdosa ia naik becak menuju sekolah.

“Adik ko sendirian,bendo nya buat apa? Jangan ditaruh disitu ya dik, nanti kalau perutnya sobek gimana?” Tanya tukang becak agak khawatir.

“Aca jadi Tjut Njak Dien Om.”

“Ko sendirian, mamanya kemana?” Tukang Becak kembali bertanya.

“Mama kerja Om.” Tukas Fraza

“Pintar sekali.” Sahut Tukang Becak.

Untungnya tukang becak itu adalah orang yang jujur dan sampailah Fraza di depan sekolah, Fraza membayar tukang becak dengan uang receh yang jumlahnya memang banyak. Tanpa menghitung terlebih dahulu uang yang sebenarnya kurang, tukang becak pergi.

“Lain kali bilang sama mamanya ya, jangan pergi ke sekolah sendiri.” Pesan tukang becak kepada Fraza.

“Iya Om, makasih.” Jawab Fraza menggemaskan.

Sekolah TK itu telah ramai dipenuhi anak-anak kecil yang berbaris dengan dandanan lucu, sanggul-sanggul mini menghiasi kepala anak-anak perempuan, para orangtua juga tampak di kemuruman untuk mendampingi anak-anaknya. Fraza masuk ke halaman sekolah dan kontan disambut oleh teriakan Nino.

“U Us, ada monster datang.” Nino berteriak.

Fraza memperlambat jalannya sambil membawa sebilah bendo di tangan. Selain Nino yang beriak dan tertawa terbahak-bahak, teman-temannya yang lain juga turut menertawakan dandanan Fraza yang memang aneh. Muka Fraza memerah, tangisannya tak dapat dibendung, Ustadzah yang melihat Fraza segera mendekat dan memperlihatkan wajah khawatir dengan barang yang dibawa Fraza. Fraza semakin tersedu, ia merasa sangat sedih, hari kartini yang dinanti-nantinya tidak seindah dalam bayangan dengan membawa semangat perjuangan Tjut Njak Dien. Cerita hari ini begitu pilu dirasa oleh anak seusianya. Diantara bulir air mata yang jatuh, ada sebuah harapan terang datang. Ibu Fraza muncul di sekolah itu. Segera Reza menyergap anaknya dengan derai air mata yang beradu bersama tangisan Fraza. Saat berada di pegadilan, mentua Reza mendapat telepon dari pembantu, melaporkan bahwa Fraza hilang. Insting Reza tak kemana, ia meninggalkan sidang saat itu juga.
***

Salah satu kelas di sebuah sekolah dasar negeri senyap, meski ruangan itu tak kosong, murid-murid kelas tiga terbius dengan cerita Fraza yang dibacakan di depan.

“Hari itu aku sangat sedih, seluruh anak-anak di sekolahku menertawakan dandananku, tapi tiba-tiba datang malaikat penyelamat, dan di Hari Kartini itu aku menjadi tahu bahwa pahlawan perempuan bagiku bukanlah siapa-siapa, dia adalah ibu.” Fraza membaca tulisan terakhirnya.

Tepuk tangan bersahutan dari Ibu Guru dan teman-teman Fraza, ia tersenyum senang sembari mengingat-ingat seorang malaikat penyelamat itu.


*Terinspirasi dari tulisan "Kartini Diciptakan Belanda" oleh. Fandy Hutari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;