Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Rabu, 16 November 2011

G U R E M




Kata orang dia itu parasit, selalu menumpang hidup ketika ada kesempatan menjemput. Wajar saja jika ada yang menyebutnya Gurem, berpindah dari satu Ayam Jantan ke Ayam Jantan yang lainnya. Tapi aku tahu dia bukan Gurem sembarang Gurem, kulitnya putih mulus, badannya menjulang tinggi, bokong dan panyudaranya sama-sama menyembul. Ayam Jantan mana yang tahan melihat dia mengeliatkan tubuh hingga lekuk-lekuk menggairahkan itu mengisratkan hasrat untuk bercinta.

Bapaknya juga selalu mempunyai Gurem, dipelihara bahkan dibawanya ke rumah. Semenjak kecil dia hidup berbagi dengan Gurem, Ibunya sudah tak peduli, bukan hanya kepada Bapaknya, dia pun tak ingat kapan terakhir dia memiliki seorang ibu, meski dia tinggal dalam satu pagar, terbang ke ke ruang tamu ditemuinya Ibu sedang duduk merangkai bunga, tapi Ibu diam. Terbang ke halaman rumah ditemuinya Ibu sedang menyiram bunga, tapi Ibu diam. Terbang ke dapur ditemuinya ibu memasak yang tak pernah menghasilkan santapan layak makan, tapi Ibu masih saja diam. Lambat laun dia dewasa, dan ibu tetap diam, seperti patung yang dapat bergerak. Ketika Ibu melihat Bapaknya meraup desah tubuh mulus Tante Gurem di atas bekas kasur untuk memerawani Ibu, Ibu juga diam. Dia heran, tak punyakah perasaan Ibu?

Akhirnya aku mengenal dia, seorang perempuan cerdas yang melahap puluhan buku filsafat dan ratusan film idealis. Tapi orang-orang tetap saja melihatnya sebagai Gurem. Bahkan di satu malam obrolanku bersama dia tak terputus hingga pagi menjelang. Apa yang salah dengan dirinya? Dia memang sangat membenci Bapaknya yang selalu mempunyai Gurem, darah Bapaknya habis, perasaan serta akal sehat Ibunya juga habis. Tinggalah dia sendiri hidup dengan kesadaran atas kebencian yang terus mengkerak di pikiran serta hatinya. Kebencian. Tapi mengapa dia rela orang-orang menjebutnya Gurem.

Pernah suatu hari Ayam Jantan tergeletak mati, Gurem tertawa terbahak-bahak, ia bangga menjadi Gurem yang disebut parasit, bukan karena untuk melanjutkan hidup agar mampu membeli tas, baju, serta sepatu bermerk dengan harga selangit. Perempuan cerdas dan oportunis sepertinya tak mungkin tak dapat mencetak kepingan uang untuk mentraktir whiskey tiap malam. Bahkan membeli Ayam Jantan. Sifat parasit, hanya menginginkan melanjutkan hasrat yang harus segera di eksekusi bersama Ayam  Jantan, dia senang menghisap darah Ayam Jantan hingga habis dengan rakusnya sampai tak tersisa.

Jika darah satu Ayam Jantan telah habis, tak butuh waktu lama dia segera mendapat Ayam Jantan baru. Sebenarnya aku mual membayangkan begitu banyaknya Ayam Jantan yang dihisap darahnya. Hingga Ayam Jantan itu terseok-seok mengemis cinta Sang Gurem. Sifat parasit kini berbalik. Tapi mengapa dia rela orang-orang menyebutnya Gurem.
*

Malam yang sepi Gurem mengendarai Ford Ranger putih dengan beringasnya. Tak menyangka di dalam mobil besar itu ada seorang perempuan ayu berbaju seksi dengan belahan dada terbuka, panyudaranya seolah meminta untuk diremas. Gurem turun dari mobil di depan minimarket dua puluh empat jam, dia mampir sejenak sambil menunggu telepon dari seorang Ayam Jantan tampan, dibelinya bir kaleng, rokok light menthol, dan camilan kedelai sehat yang tak kan membuat berat badannya berubah.

Gurem mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya dengan api. Cara merokok itu, bibir merah basah, mengundang Ayam Jantan berseliweran untuk melumat sampai pucat. Ponsel smartphone-nya berdering. Yah, dari Ayam Jantan tampan. Dia tersenyum dengan gayanya yang cool.

“Aku sudah didepan, kamu sebelah mana?”

“Di balik mobil putih.” Gurem tak berkata banyak sampai ponsel dimatikan. Ayam Jantan tampan memarkir motor-nya dan menghampiri Gurem. Tanpa segan Gurem menyambar dengan ciuman meski ia baru saja mengenal Ayam Jantan tampan. Pemandangan yang membuat ribuan rasa iri bagi Ayam Jantan berseliweran. Ayam Jantan tampan  itu segera siap mematuk dengan jengger merahnya yang mulai muncul.
“Selesai dari pantai agenda kita ke hotel, setuju denganku?”

Pertanyaan yang membuar jengger Sang Ayam bertambah ukuran, merah merona, seperti balon yang terus ditiup, siap terbang menjelajahi Gurem.

“Aku tak suka sembarangan, kamu punya cadangan banyak?”

Dengan mata tajam siap meluteskan jangger Sang Ayam Gurem menambahkan.”Bukannya menyangsikanmu, tapi ini sebuah prinsip”.

Ayam Jantan tampan tahu maksud Gurem dengan isyarat menyuruhnya masuk ke minimarket. Tak mau membuang waktu lama Ayam Jantan meraup kotak-kotak pengaman yang dimaksud tanpa menghitung ada berapa kotak yang ia ambil.

“Mas aku markir motor disini ya?” Tambah Ayam jantan setelah melakukan pelunasan barang yang dibelinya.

Segera Ayam jantan Tampan dan Gurem menggairahkan meluncur di jalanan menuju pantai harapan pelabuhan hasrat mereka.
*

Gurem meyeruput bir yang segera habis, dihisapnya rokok menthol dengan style khasnya yang menggoda Ayam-Ayam jantan berkeliaran. Di bawah lampu sorot klub kecil tempat para bule bergoyang mengikuti irama musik rock n roll dengan kesadaran terpengaruh alkohol. Gurem sama sekali tak tertarik bule. Terlalu menyilaukan mata, kulit putih bule, aroma feromon berbeda, tak sejantan Ayam-Ayam lokal baginya. Berkali-kali ponselnya meminta untuk dianggat, panggilan dari Ayam Jantan tampan, tapi Gurem membiarkan suara ponsel itu beradu  menjadi satu dengan debam suara drum milik band yang sedang membawakan lagu Light My Fire-nya The Doors.

Klub yang lebih cocok disebut café ini adalah tempat Gurem menyandarkan punggung nya sendiri, tanpa Ayam Jantan menemani, ia selalu dinanti teman-teman, Gurem-gurem lain, atau Ayam Jantan lain yang pernah terhisap darahnya. Setiap senin malam sengaja Gurem mampir sejenak ke klub ini, menggelar kartu tarot permintaan teman-teman. Entah sejak kapan ia pandai meramal. Sebenarnya cita-citanya hanya ingin meramalkan keadaan Ibu, tapi itu tak pernah berhasil, otak Ibu telah mati, apalagi perasaannya. Mungkin Ibu mengidap penyakit neurosis akibat kelakukan Bapak. Mungkin Gurem mengidap penyakit hiper sex karena kelakuan Bapak. Mungkin bapak mengidap penyakit impotensi karena kelakunya sendiri. Mungkin kini Bapak mengidap penyakit raja singa. Mungkin Ibunya menapouse lebih awal. Mungkin ia tak kan mampu mengusir dendam terhadap Ayam Jantan sampai kapanpun karena Ibu. Tapi mengapa ia rela orang-orang menyebutnya Gurem.

Gurem tak ada rencana untuk menikah, ia hanya ingin punya anak dari seorang Ayam Jantan terpilih, tanpa membutuhkan Ayam  Jantan manapun, bahkan ia ingin menanam sperma melalui fertilisasi buatan. Kalau bisa sperma Tan Malaka, atau sperma Johnny Deep saja.

Keberanian tak juga muncul. Ada rasa sakit di dalam sana, tapi aku lega. Ayam Jantan tampan mati rasa juga mati gaya karena Gurem. Memang bukan Gurem sembarang Gurem. Sebenarnya aku mual melihatnya berpindah dari satu Ayam Jantan ke Ayam Jantan lainnya. Tapi itula dia, orang-orang menyebutnya Gurem. Setelah beberapa saat aku mematut diri di depan cermin, akhirnya keberanian itu muncul, entah apa tujuanku  malam ini, aku hanya ingin bertemu dengannya, memaki dan mengucapkan terima kasih.

Malam menemani keterasinganku di dalam klub ini, Gurem sangat cantik, menarik, bahkan aku ingin melumat bibir merah yang menghebuskan asap rokok dengan style-nya yang cool itu. Tapi aku bukan lah Ayan Jantan. Dan dia tetap Gurem pemangsa Ayam Jantan, dengan hama beroroma wangi dari gua garba yang tetap suci, akunya. Aku bingung, apa sebenarnya yang ia cari, aku setuju dengan orang-orang yang menyebutnya Gurem. Tidak malam ini.

Aroma wangi itu menyeruak keluar dari celah rok panjang-nya, terasa kenyamanan menbahana. Aku menyeruput orange juice. Tapi malam ini sangat dingin, sedingin otak dan hatiku. Aku ingin segelas whiskey atau  wine. Banyangan hangat segera terasa menyelinap melihat pelayan mengantarkan pesananku. Aku ragu tapi meminunnya juga, hampir setahun, lebih bahkan, tubuhku dingin, tak ada bahan bakar untuk menyalakan tungku di dalam tubuhku. Terpaut satu jam aku di depan Gurem, perempuan cantik yang membuatku iri, bokong dan panyudara nya menyembul menendang rasa iri karena aku  tak memilikinya, lebih tepat aku adalah papan pencuci pakaian, datar dan rata. Sedatar aura ku kini melihatnya. Keberanian yang kupupuk untuk memaki dan mengucapkan terima kasih kepada Gurem sirna. Ia punya kekuatan, pancaran cahaya dari aroma wangi gua garba itu, membuat nyaman. Ingin aku berubah menjadi Ken Arok malam ini, merebut Gurem, membawa lari, dan membuatnya memuntahkan raja-raja penguasa Pulau Jawa dari gua garba itu.

Seorang Gurem, orang-orang menyebutnya seperti itu, tak ada niat untuk memaki. Niat itu lenyap. Dia memang Gurem bukan sembarang Gurem, dendamnya tetap terpaut, bukan sekedar Ayam Jantan mangsanya. Orang-orang menyebut Gurem, tapi menurutku Gurem idealis dan ber-prinsip. Sampai kapan pun dendamnya tetap terpaut. Ia tak ingin hidup ditemani Ayam Jantan manapun, ia bukan parasit, Ayam Jantan lah parasit itu. Ia menghancurkan Ayam Jantan karena dendam-nya. Tak kan lagi ada makian. Dan aku berterima kasih, Karena Ayam Jantan tampan milikku tepat diperlakukan Gurem menjadi kehancuran. Ia tak lebih dari Ayam Jantan murahan, aku tak pernah tahu. Tapi itulah Ayam Jantan tampan ku.


Yogyakarta, 16 November 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;