Tweet |
Kata
orang dia itu parasit, selalu menumpang hidup ketika ada kesempatan menjemput.
Wajar saja jika ada yang menyebutnya Gurem, berpindah dari satu Ayam Jantan ke
Ayam Jantan yang lainnya. Tapi aku tahu dia bukan Gurem sembarang Gurem,
kulitnya putih mulus, badannya menjulang tinggi, bokong dan panyudaranya
sama-sama menyembul. Ayam Jantan mana yang tahan melihat dia mengeliatkan tubuh
hingga lekuk-lekuk menggairahkan itu mengisratkan hasrat untuk bercinta.
Bapaknya
juga selalu mempunyai Gurem, dipelihara bahkan dibawanya ke rumah. Semenjak
kecil dia hidup berbagi dengan Gurem, Ibunya sudah tak peduli, bukan hanya
kepada Bapaknya, dia pun tak ingat kapan terakhir dia memiliki seorang ibu,
meski dia tinggal dalam satu pagar, terbang ke ke ruang tamu ditemuinya Ibu
sedang duduk merangkai bunga, tapi Ibu diam. Terbang ke halaman rumah
ditemuinya Ibu sedang menyiram bunga, tapi Ibu diam. Terbang ke dapur
ditemuinya ibu memasak yang tak pernah menghasilkan santapan layak makan, tapi
Ibu masih saja diam. Lambat laun dia dewasa, dan ibu tetap diam, seperti patung
yang dapat bergerak. Ketika Ibu melihat Bapaknya meraup desah tubuh mulus Tante
Gurem di atas bekas kasur untuk memerawani Ibu, Ibu juga diam. Dia heran, tak
punyakah perasaan Ibu?
Akhirnya
aku mengenal dia, seorang perempuan cerdas yang melahap puluhan buku filsafat
dan ratusan film idealis. Tapi orang-orang tetap saja melihatnya sebagai Gurem.
Bahkan di satu malam obrolanku bersama dia tak terputus hingga pagi menjelang.
Apa yang salah dengan dirinya? Dia memang sangat membenci Bapaknya yang selalu
mempunyai Gurem, darah Bapaknya habis, perasaan serta akal sehat Ibunya juga
habis. Tinggalah dia sendiri hidup dengan kesadaran atas kebencian yang terus
mengkerak di pikiran serta hatinya. Kebencian. Tapi mengapa dia rela orang-orang
menjebutnya Gurem.
Pernah
suatu hari Ayam Jantan tergeletak mati, Gurem tertawa terbahak-bahak, ia bangga
menjadi Gurem yang disebut parasit,
bukan karena untuk melanjutkan hidup agar mampu membeli tas, baju, serta sepatu
bermerk dengan harga selangit. Perempuan cerdas dan oportunis sepertinya tak
mungkin tak dapat mencetak kepingan uang untuk mentraktir whiskey tiap malam. Bahkan membeli Ayam Jantan. Sifat parasit, hanya
menginginkan melanjutkan hasrat yang harus segera di eksekusi bersama Ayam Jantan, dia senang menghisap darah Ayam Jantan
hingga habis dengan rakusnya sampai tak tersisa.
Jika
darah satu Ayam Jantan telah habis, tak butuh waktu lama dia segera mendapat
Ayam Jantan baru. Sebenarnya aku mual membayangkan begitu banyaknya Ayam Jantan
yang dihisap darahnya. Hingga Ayam Jantan itu terseok-seok mengemis cinta Sang
Gurem. Sifat parasit kini berbalik. Tapi mengapa dia rela orang-orang
menyebutnya Gurem.
*
Malam
yang sepi Gurem mengendarai Ford Ranger
putih dengan beringasnya. Tak menyangka di dalam mobil besar itu ada seorang
perempuan ayu berbaju seksi dengan belahan dada terbuka, panyudaranya seolah
meminta untuk diremas. Gurem turun dari mobil di depan minimarket dua puluh
empat jam, dia mampir sejenak sambil menunggu telepon dari seorang Ayam Jantan
tampan, dibelinya bir kaleng, rokok light
menthol, dan camilan kedelai sehat yang tak kan membuat berat badannya
berubah.
Gurem
mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya dengan api. Cara merokok itu, bibir
merah basah, mengundang Ayam Jantan berseliweran untuk melumat sampai pucat.
Ponsel smartphone-nya berdering. Yah,
dari Ayam Jantan tampan. Dia tersenyum dengan gayanya yang cool.
“Aku
sudah didepan, kamu sebelah mana?”
“Di
balik mobil putih.” Gurem tak berkata banyak sampai ponsel dimatikan. Ayam Jantan
tampan memarkir motor-nya dan menghampiri Gurem. Tanpa segan Gurem menyambar
dengan ciuman meski ia baru saja mengenal Ayam Jantan tampan. Pemandangan yang
membuat ribuan rasa iri bagi Ayam Jantan berseliweran. Ayam Jantan tampan itu segera siap mematuk dengan jengger
merahnya yang mulai muncul.
“Selesai
dari pantai agenda kita ke hotel, setuju denganku?”
Pertanyaan
yang membuar jengger Sang Ayam bertambah ukuran, merah merona, seperti balon
yang terus ditiup, siap terbang menjelajahi Gurem.
“Aku
tak suka sembarangan, kamu punya cadangan banyak?”
Dengan
mata tajam siap meluteskan jangger Sang Ayam Gurem menambahkan.”Bukannya
menyangsikanmu, tapi ini sebuah prinsip”.
Ayam
Jantan tampan tahu maksud Gurem dengan isyarat menyuruhnya masuk ke minimarket.
Tak mau membuang waktu lama Ayam Jantan meraup kotak-kotak pengaman yang
dimaksud tanpa menghitung ada berapa kotak yang ia ambil.
“Mas
aku markir motor disini ya?” Tambah Ayam jantan setelah melakukan pelunasan
barang yang dibelinya.
Segera
Ayam jantan Tampan dan Gurem menggairahkan meluncur di jalanan menuju pantai
harapan pelabuhan hasrat mereka.
*
Gurem
meyeruput bir yang segera habis, dihisapnya rokok menthol dengan style khasnya
yang menggoda Ayam-Ayam
jantan berkeliaran. Di bawah lampu sorot klub kecil tempat para bule bergoyang
mengikuti irama musik rock n roll dengan
kesadaran terpengaruh alkohol. Gurem sama sekali tak tertarik bule. Terlalu
menyilaukan mata, kulit putih bule, aroma feromon berbeda, tak sejantan Ayam-Ayam lokal baginya.
Berkali-kali ponselnya meminta untuk dianggat, panggilan dari Ayam Jantan
tampan, tapi Gurem membiarkan suara ponsel itu beradu menjadi satu dengan debam suara drum milik band
yang sedang membawakan lagu Light My
Fire-nya The Doors.
Klub
yang lebih cocok disebut café ini adalah tempat Gurem menyandarkan punggung nya
sendiri, tanpa Ayam Jantan menemani, ia selalu dinanti teman-teman, Gurem-gurem
lain, atau Ayam Jantan lain yang pernah terhisap darahnya. Setiap senin malam
sengaja Gurem mampir sejenak ke klub
ini, menggelar kartu tarot permintaan teman-teman. Entah sejak kapan ia pandai
meramal. Sebenarnya cita-citanya hanya ingin meramalkan keadaan Ibu, tapi itu
tak pernah berhasil, otak Ibu telah mati, apalagi perasaannya. Mungkin Ibu
mengidap penyakit neurosis akibat kelakukan Bapak. Mungkin Gurem mengidap penyakit
hiper sex karena kelakuan Bapak. Mungkin bapak mengidap penyakit impotensi
karena kelakunya sendiri. Mungkin kini Bapak mengidap penyakit raja singa.
Mungkin Ibunya menapouse lebih awal. Mungkin ia tak kan mampu mengusir dendam
terhadap Ayam Jantan sampai kapanpun karena Ibu. Tapi mengapa ia rela
orang-orang menyebutnya Gurem.
Gurem
tak ada rencana untuk menikah, ia hanya ingin punya anak dari seorang Ayam Jantan
terpilih, tanpa membutuhkan Ayam Jantan
manapun, bahkan ia ingin menanam sperma melalui fertilisasi buatan. Kalau bisa
sperma Tan Malaka, atau sperma Johnny Deep saja.
Keberanian
tak juga muncul. Ada rasa sakit di dalam sana, tapi aku lega. Ayam Jantan
tampan mati rasa juga mati gaya karena Gurem. Memang bukan Gurem sembarang
Gurem. Sebenarnya aku mual melihatnya berpindah dari satu Ayam Jantan ke Ayam Jantan
lainnya. Tapi itula dia, orang-orang menyebutnya Gurem. Setelah beberapa saat
aku mematut diri di depan cermin, akhirnya keberanian itu muncul, entah apa
tujuanku malam ini, aku hanya ingin
bertemu dengannya, memaki dan mengucapkan terima kasih.
Malam
menemani keterasinganku di dalam klub
ini, Gurem sangat cantik, menarik, bahkan aku ingin melumat bibir merah yang
menghebuskan asap rokok dengan style-nya yang cool itu.
Tapi aku bukan lah Ayan Jantan. Dan dia tetap Gurem
pemangsa Ayam Jantan, dengan hama
beroroma wangi dari gua garba yang tetap suci, akunya. Aku bingung, apa sebenarnya
yang ia cari, aku setuju dengan orang-orang yang menyebutnya Gurem. Tidak malam
ini.
Aroma
wangi itu menyeruak keluar dari celah rok panjang-nya, terasa kenyamanan
menbahana. Aku menyeruput orange juice.
Tapi malam ini sangat dingin, sedingin otak dan hatiku. Aku ingin segelas whiskey atau wine.
Banyangan hangat segera terasa menyelinap melihat pelayan mengantarkan
pesananku. Aku ragu tapi meminunnya juga, hampir setahun, lebih bahkan, tubuhku
dingin, tak ada bahan bakar untuk menyalakan tungku di dalam tubuhku. Terpaut
satu jam aku di depan Gurem, perempuan cantik yang membuatku iri, bokong dan
panyudara nya menyembul menendang rasa iri karena aku tak memilikinya, lebih tepat aku adalah papan
pencuci pakaian, datar dan rata. Sedatar aura ku kini melihatnya. Keberanian
yang kupupuk untuk memaki dan mengucapkan terima kasih kepada Gurem sirna. Ia
punya kekuatan, pancaran cahaya dari aroma wangi gua garba itu, membuat nyaman. Ingin aku berubah
menjadi Ken Arok malam ini, merebut Gurem, membawa lari, dan membuatnya
memuntahkan raja-raja penguasa Pulau Jawa dari gua garba itu.
Seorang
Gurem, orang-orang menyebutnya seperti itu, tak ada niat untuk memaki. Niat itu
lenyap. Dia memang Gurem bukan sembarang Gurem, dendamnya tetap terpaut, bukan
sekedar Ayam Jantan mangsanya. Orang-orang menyebut Gurem, tapi menurutku Gurem
idealis dan ber-prinsip. Sampai kapan pun dendamnya tetap terpaut. Ia tak ingin
hidup ditemani Ayam Jantan manapun, ia bukan parasit,
Ayam Jantan lah parasit itu. Ia menghancurkan Ayam Jantan karena dendam-nya.
Tak kan lagi ada makian. Dan aku berterima kasih, Karena Ayam Jantan tampan
milikku tepat diperlakukan Gurem menjadi
kehancuran. Ia tak lebih dari Ayam Jantan murahan,
aku tak pernah tahu. Tapi itulah Ayam Jantan tampan ku.
Yogyakarta, 16 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar