Kembali menuliskan apa yang tidak tertulis
Sebenar benarnya mata ini terus melihat, hati ini terus merasakan hal yang entah, pikiran ini tetap berjalan keras mencerna hal-hal yang lunak sampai yang keras tak tercerna. tapi kemauan itu enggan bergerak menopang apa yang terus mengisi dan hilang begitu saja tak berwujud.
Inilah kenyataan babak yang hilang tanpa bekas. sejarah tanpa identitas. dan rasanya harus segera buang hajat sebelum otomatis digerus oleh kapasitas otak yang penuh sesak..
come back home, come back please
Ketika Saya Overload
Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.
SELAMAT DATANG
untuk menikmati muntahan saya...
Meski ibu tak bisa masak
Dalam tiba-tiba masakannya merindu desak,
Ini memaksaku pulang
Menuju kenangan.
Dalam tiba tiba rindu masakan ibu
Dan ambisiku pun menggebu
Aku harus segera datang
Menuju kenangan.
Tiba tiba rindu itu kenyataan
Ibu masih tak bisa masak
Karena kerinduannya kepada bapak.
Dan ambisiku tak henti
Ternyata ibu hanya memasak nasi
Untuk mengobati kerinduanku,
Aku pun memakannya
Meski hanya nasi
Untuk mengobati kerinduannya pada bapak.
St. Manggarai - Jakarta
8 november 2014
Dalam tiba-tiba masakannya merindu desak,
Ini memaksaku pulang
Menuju kenangan.
Dalam tiba tiba rindu masakan ibu
Dan ambisiku pun menggebu
Aku harus segera datang
Menuju kenangan.
Tiba tiba rindu itu kenyataan
Ibu masih tak bisa masak
Karena kerinduannya kepada bapak.
Dan ambisiku tak henti
Ternyata ibu hanya memasak nasi
Untuk mengobati kerinduanku,
Aku pun memakannya
Meski hanya nasi
Untuk mengobati kerinduannya pada bapak.
St. Manggarai - Jakarta
8 november 2014
Dia mengatakan bahwa saya ini kacau, tanpa identitas agama.. Dia mengatakan bahwa saya ini krisis Ketuhanan... Maaf, saya mencintai Tuhan... Kau tak mengerti itu meski saya jelaskan dengan panjang lebar.. saya mencintai Tuhan, mencintai alam, mencintai orang tua dan mencintai calon anak saya kelak... Kau tak mengerti itu... Biarlah hubungan saya dengan Tuhan hanya antara saya dengan Tuhan saya, mutlak bukan urusan mu.. Tuhan saya mengerti itu dan otak mu tak memahami itu...Maaf, jangan kau hakimi aku dengan pemahaman Ketuhanan berdasarkan otakmu.. silahkan bercermin terlebih dahulu apa yang sudah kau berikan pada Tuhan mu...
Aku lahir waktu
itu sendiri, semenjak aku belum mengerti apa-apa, Ibu dan Bapak saja yag
menemani, membantu belajar bicara, membantu pertama kali kakiku bias melangkah,
hingga membantu bermain, dan membantu mencarikan serta menjagaku dengan teman
sebaya untuk aku belajar bersosialisasi.
Jika aku anak
pertama, orangtuaku menganggap aku sendiri lalu mereka menghadirkan saudara
untuk menemaniku di rumah.
Dan aku beranjak
besar, di sekolah, di lingkungan tetangga, di sanggar, di tempat belajar agama.
Aku kenal orang-orang baru yang menjadi teman bagiku. Aku dan temanku belajar
berpikir bersama, belajar saling memahami satu sama lain. Ada diantara mereka
yang mengaku sahabat.
Lalu aku semakin
beranjak dewasa dengan tanda kelamin ini telah memperkerjakan hormon-hormonnya.
Aku mendapat teman baru yang mampu menemani hormonku dengan impuls yang
mengirim kelaminku menjadi berdenyut dan merangsang adrenalin serta
mengeluarkan hormon dophamin dari otakku. Dan dia mengaku sebagai pacar, mengaku mencintai, dan
memberi harapan untuk menemani sampai mati. Teman yang seperti ini muncul dan
hilang.
Bercinta adalah kata konotatif
dari kegiatan kelamin yang bertemu dan saling menikmati tubuh sampai mendapat
kepuasan satu sama lain, kata lainnya adalah bersetubuh.
Bercinta berarti mempersatukan
tubuh dengan cinta, meemberi cinta yang ada dalam hati dan menerima cinta
dengan hati.
Cinta sejati itu cinta yang tak
akan pernah mati.. ada 4 cinta sejati bagi saya.
Buat saya cinta sejati itu adalah
cinta kepada Tuhan, karena saya bersetubuh dengan Tuhan, bercinta dengan Tuhan,
dalam tubuh saya tersimpan unsur-unsur ke-Tuhanan, unsur-unsur yang senyawanya
tidak dapat didefinisikan dan dipecah menjadi ion negatif, positif atau netral.
Unsur gaib, yang hanya bisa dirasa
namun tak dapat dicitra dengan panca indra. Unsur ini tak dapat pula dipecah
menjadi oposisi biner. Unsur yang bersifat monolitik bersifat ke-Tuhanan. Yakni
pikiran, perasaan, ingatan, kesadaran serta jiwa yang menjadi pusat dari segala
apapun yang ada di dalam diri saya. Inilah bukti bahwa saya bersetubuh dengan
Tuhan, saya mencintai Tuhan, karena Dia menyatu mengalir dalam diri saya
selamanya.
Tuhan
itu bukan satu. Tapi karena kita tidak tahu.
Bilangan
cacah itu payah, bilangan yang ada didunia untuk membeda-bedakan sesuatu.
Padahal jika kau adalah makhluk yang mengaku milik Tuhan, kau pasti tak akan
mau jika Tuhan yang kau miliki ditimbang dengan sesuatu, “bilangan cacah”.
Tuhan
tak bisa diukur dengan apapun, kita bisa mengukur karena kita berada di dunia
yang tak memiliki sifat dasar Ketuhanan. Jadi mulut besar saja kita jika dalam
hati kau tersimpan Tuhan Yang Maha
Satu.
Dunia
saya adalah dualisme sementara Tuhan itu monolitik. Tuhan tak punya kamus baku
antara laki-laki perempuan, rasa sakit rasa senang. Itu adalah kamus di dunia
saya yang bangsat. Yang tak bisa saya pungkiri karena saya dan dunia saya ini
adalah satu kesatuan untuk saling mengisi.
Tuhan
itu bukan satu, tapi memiliki sifat kesatuan, tak terbagi atas apapun, tak ada
panas dan dingin, tak ada sakit dan senang, tak ada laki-laki dan perempuan.
Jika
Yesus berhasil menjadi Tuhan, jika Budha juga berhasil menjadi Tuhan, maka kau
manusia yang juga sama seperti Yesus dan Budha, kau pun atau saya juga punya
kesempatan sama untuk menjadi Tuhan. Dengan perjalanan panjang terlebih dahulu
menikmati alam dualisme untuk berada di alam monolitik. Bukan putus asa lalu tiba-tiba memutus dualitas
dengan menjadi biarawati atau bhiksuni.
Amartanie Oktaviana
Jakarta, 6 Juli 2013
16:03 WIB
Sampai
sekarang saya bingung, apa sebenarnya hubungan antara kelamin dengan hati. Dulu
ketika kelamin saya tak tersentuh, sepertinya hati saya baik-baik saja,
berfungsi normal, dapat berkompromi dengan logika.
Perjalanan
kelamin ini bermula dari kebodohan akan sebuah rasa. Rasa yang pertama kali
muncul saat pertama kali kelamin tersetuh. Entah apa yang terjadi, saat kelamin
itu kembang kempis sesak karena udara bekurang untuk menyempil masuk akibat
benda tajam yang menusuk nusuk. Ada satu serabut neuron yang tumbuh lantang
terus memanjang hingga mengakar di lumbung rasa.
Keadaan
yang aneh, rasa bercampur toksik. Ia meluber leleh seperti es krim kepanasan.
Perlahan menetes dan ada satu tetesan membeku abadi, keras dan tak terganggu
gugat.
Sebenarnya
tetesan itu adalah dendam, yang mengkerak menjadi fosil batu. Fosil yang tak disadari, yang lama-lama
mengganjal, sakit lah rasa diatasnya.
Dan
saya ini menjadi sebuah tubuh yang menyimpan fosil batu yang mengkerak di bawah
rasa. Tidak hanya satu tapi sudah terkumpul beberapa. Batu-batu akibat dari
kebodohan semu akan pembagian genetik budaya dari benda-benda fisik dan non
fisik dalam oposisi biner tai babi.
Sebenarnya
rasa itu agung, manifestasi yang bersifat Ketuhanan, bersifat monolitik, bebas
berkembang melayang mendobrak dualitas anjing.
Fosil
yg menyebabkan rasa sakit, sepertinya adalah wujud dari peperangan antara ranah
duniawi dan ketuhanan. Rasa itu tak mengenal dualitas. Tapi sampai kapanpun
menjadi kambing hitam, korban dari dualitas
Rasa
tak berkelamin, ghaib, metafisis, supra naturalis. Tapi kini rasa yang saya
miliki mencium aura sakit, determinasi dari oposisi sehat.
Saya
ingin menjadi Tuhan seperti Budha, mereka kehilangan rasa untuk moksa abadi.
Lebih tepat mematikan rasa yang selalu dikambing hitamkan setiap saat,
dipermaikan setiap waktu. agar saya tak lagi menjadi makhluk yang dapat
merasakan dualitas ini. Bukan makhluk yang dipermaikan, makhluk sakit jiwa,
yang hanya sementara waktu saja tidak dapat mengfungsikan rasa.
Akhirnya
saya memilih menjadi makhluk yang seperwaktu saya sengaja saya buat hilang,
untk sejenak menikmati sifat Ketuhanan. Dengan menghentikan fungsi otak sadar
saya sehingga saya berada di ambang alam astral, alam yang dekat dengan sifat
Ketuhanan. Terimakasih tumbuhan-tumbuhan berjiwa supra, telah membantu mengunci
otak sadar saya. Yang telah menjadikan seperwaktu saya menjadi makhluk sakit
jiwa, makhluk yang merasakan sifat Ketuhanan.
(Aku
lebih baik dibenci sebagai diriku
sebenarnya, ketimbang jadi munafik untuk disukai orang…… Thanks Curt Cobain)
Amartanie Oktaviana
Jakarta, 6 Juli 2013
15:43 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)