Ketika Saya Overload

Hanya sekedar muntahan mesin... mungkin sekilas autobiografi, namun terlalu muluk, karena autobiografi dilegalkan bagi yang telah berhasil dalam pencapaian publik.. tapi, setidaknya untuk menghargai sejarah hidup ini,,, dan terangkum dalam Amartaniesme... check my vomit!!!Inilah upaya saya untuk memuntahkan semua yang menggelitik di otak, agar tidak overload dan mengkerak di alam bawah sadar saya sehingga mengganggu saya dengan mimpi-mimpi aneh yang tunggang langgang menjajaki malam-malam saya.

SELAMAT DATANG

untuk menikmati muntahan saya...
Minggu, 05 Agustus 2012

ILUSI SERUNI


Seruni Munandar, siang itu bersandar lunglai di ujung peraduan mimpi sebuah kursi goyang dekat kolam renang kecil di rumahnya. Tanaman hias yang berbaris di kolam itu telah menjulang agak tinggi menjadi pohon, tampaklah akar berusaha keluar membuat pot-pot retak. Angin pun berhembus dan terdengar dari tanaman meski tak mampu membelai rambut Ibu Seruni. Setidaknya udara siang ini tidak menghindar mengantarkan sebuah mimpi untuk sejenak merayunya bernapas lega, meski hanya melalui ilusi.

Mimpi berkehendak, ilusi bukan hanya dalam mimpi anggap Seruni kini. Dulu pertama kali Seruni jatuh cinta pada Akhirul suaminya yang akhirnya hubungan persenggamaan mereka dilegalkan oleh institusi agama, sekarang bagi Seruni semua itu hanyalah ilusi, tak beda dengan mimpi.


Umur Seruni empat puluh dua tahun, dua tahun lebih muda dari Akhirul. Mereka memiliki tiga anak, yang paling besar umur 18 tahun, diikuti dengan jarak dua tahun lebih muda oleh adik-adiknya.

Rumah Seruni yang lumayan besar masih sepi. Rumah ini bukan tampak milik orang biasa-biasa saja. Jelas terlihat sebuah hasil dari kucuran keringat untuk membangunnya. Yah rumah yang berhasil dibangun berdua oleh Seruni dan Akhirul sejak pertama kali Seruni jatuh cinta. Tapi siang tak juga membuat penghuni rumah mengembang, hanyalah Seruni sendiri. Suaminya masih sibuk beraktifitas di hotel dengan order check in short time, anak-anaknya masih sibuk sekolah dan bertandang entah kemana setelahnya.

Wajah Seruni tertiup angin, meski tertidur di kursi goyang dengan bekas kaleng bir yang kosong dan beberapa puntung rokok yang hampir memenuhi asbak di meja sebelahnya. Wajah itu tersenyum lembut, tak jua terlihat beban apapun. Bukan karena Seruni sedang dibelai ilusi, karena ilusi baginya tak hanya dalam mimpi tapi juga dalam dunia nyata ini.

Anaknya satu persatu pulang, ingin menyapa Ibu Seruni namun karena sang ibu tak jua bergetar mendengar pintu gerbang yang terbuka, anak-anak itu tak berani membangunkannya. Kini Akhirul datang, Seruni membuka mata bukan karena suaminya, namun ilusi mimpi itu telah pergi. Seruni bangun dan berganti menghadapi ilusi dunia nyata ini. Ia pindah ke kamarnya lalu bertemu suaminya. Seruni menyapa dan angkat bicara.

“Bagaimana ??” .

“Menurutmu bagaimana?” .

“Menurutmu apakah ada sebuah beban psikologis?”

“Apakah kamu merasa selama ini ada yang disembunyikan?”

“Tidak.”Jawab seruni.

“Dan jawabanku juga tidak, tidak ada beban psikologis dari kamu”.

“Berarti hanya sebuah teori saja”.

“Tepatnya seperti itu”.

“Frigid hanya sebuah teori saja”.

“Lalu, apakah kamu akan marah dengan solusiku”.

“Tidak, perasaanku juga telah frigid. Kamu tanggungjawabku, rumah ini dan juga anak-anak”.

“Aku juga masih dalam tanggungjawabku”.

“Karena kita hidup, inilah hidup kita”.

Seruni mengalami frigiditas, ia sama sekali tak mempunyai hasrat berhubungan seksual. Seruni bukan menolak ketika suaminya ingin menikmati kelaminnya. Tapi karena kelamin Seruni enggan berfungsi untuk suaminya. Teorinya adalah ada sebuah beban psikologis terpendam bagi perempuan yang mengalami frigiditas. Seruni dan Akhirul menerka apakah beban itu. Selama mereka menjadi partner lebih dari 19 tahun Seruni merasa bahagia, segala kebutuhan terpenuhi, mereka tak pernah bertengkar. Tapi di tahun keduapuluh pernikahan mereka ini, tiba-tiba saja seruni mengaku frigid, ini bukanlah sebuah kebosanan hubungan seksual mereka, tapi karena sudah waktunya terka Seruni. Lalu suaminya mencari solusi sendiri pun juga dengan Seruni. Rumah adalah waktu untuk keluarga dan dunia luaran sana adalah waktu pribadi mereka.

Sang suami memiliki affair dengan perempuan muda berjarak 16 tahun di bawahnya. Seruni tahu, bukannya ia tak mau tahu, tapi dunia nyata sama seperti mimpi, hanyalah ilusi, dan itu yang berhubungan dengan segala rasa. Yang benar-benar nyata hanyalah tanggungjawab. Selamatlah pernikahan mereka. Seruni bertanggungjawab sebagai ibu, Akhirul bertanggungjawab sebagai bapak.

Seruni dan Akhirul masih berada di kamar, ruangan yang rapi dan wangi melati, bau itu masih seperti ruangan yang bernuansa sama setelah mereka melakukan pemberkatan pernikahan di Gereja Pantecosta.

Wajah Seruni segar tapi tidak dengan kelaminnya, mati dan tak berfungsi. Akhirul angkat bicara.

“Apa yang terjadi jika ini sepuluh atau lima belas tahun yang lalu?”.

“Habislah pernikahan kita”.

“Karena kita masih muda, emosi pasti bergejolak dan egoisme pasti masih sangat tinggi”. Tambah seruni.

“Mungkin kita akan merasa mampu untuk hidup sendiri-sendiri barang kali”.

“Dan mungkin sekat antara nyata ndan ilusi itu masih absurd”. Tegas seruni.

“Antara rasa dan tanggungjawab”.

“Tepatnya”.

“Aku akan mengatakan sebuah ilusi”.

“Apa???”.

“Aku mencintaimu”.

“Jawabanku juga sebuah ilusi, aku mencintaimu”.

‘Baiklah, mari kita melakukan tanggungjawab utama yang nyata untuk diri”. Ajak Seruni kepada suaminya.

Lalu mereka beranjak, Seruni melepas bajunya, Akhirul juga melepas sepatunya lalu dasi dan kemeja kerjanya. Tas kantor Akhirul yang berisi berkas-berkas dan komputer personal yang ditaruhnya di atas kasur dipindahkan oleh Seruni ke meja di dekat televisi layar datar yang tertepel di tembok. Bayangan Akhirul dari layar televisi tampak seperti siluet tipis, Akhirul duduk di tepi ranjang. Seruni masih berdiri setelah meletakkan tas suaminya, kemudian Seruni membuka pintu lemari, separuh layar televisi tertutup pintu lemari. Kini hanyalah Akhirul yang tampak masih duduk, setelahnya berdiri menuju balik pintu lemari tempat Seruni berada. Seruni mengambil baju dan memberikannya kepada akhirul. Seruni telah mengganti bajunya, tinggallah Akhirul.

“Aku tunggu kamu di meja makan!” bisik seruni.

“Taruh bekas keringat perempuan itu yang menempel di bajumu, taruh di keranjang”. Tambah seruni sembari berbisik.

Lalu Seruni keluar kamar menyiapkan makan siang bersama suami dan anak-anaknya. Siang itu, sebuah keluarga tampak harmonis melakukan aktifitas nyata di meja makan, aktifitas tanggungjawab untuk masing-masing diri dan keluarga. Tampak harmonis setelah membicarakan rasa yang menurut mereka adalah ilusi.

Anak-anak mereka makan dengan lahapnya, makanan yang tersaji memang bermutu. Tampak kerja keras Seruni dan Akhirul berhasil secara nyata di meja makan itu. Sembari makan, Seruni menanyakan aktifitas anak-anaknya di sekolah. Seruni berperan nyata sebagai ibu, pun demikian dengan Akhirul. Mereka adalah orangtua yang dewasa. Mengatur rumah tangga mereka dengan kenyamanan dunia nyata.

Seruni dan Akhirul sama-sama jujur, sama sekali tidak ada yang disembunyikan. Katanya berlaku tidak jujur hanyalah menyembunyikan sesuatu yang dianggap sebagai masalah. Mereka mengaku telah dewasa, masalah-masalah itu menumpuk, namun tak dianggapnya sampah, harus diselesaikan dengan awal pengakuan jujur. Dan mereka tahu itulah hidup. Rasa sakit hanyalah ilusi untuk anak muda karena Seruni dan Akhirul telah mengaku sama-sama dewasa.






Ide tergerak dari sebuah curhatan ide Wahyu Utami Wati (seorang sahabat), yang akunya kesulitan mengembangkan saat ingin membuat film bercerita tentang formalitas pernikahan.
Amartanie Oktaviana
Jakarta, 3 Juli 2012
20:07 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;