Tweet |
Seruni Munandar,
siang itu bersandar lunglai di ujung peraduan mimpi sebuah kursi goyang dekat
kolam renang kecil di rumahnya. Tanaman hias yang berbaris di kolam itu telah
menjulang agak tinggi menjadi pohon, tampaklah akar berusaha keluar membuat
pot-pot retak. Angin pun berhembus dan terdengar dari tanaman meski tak mampu
membelai rambut Ibu Seruni. Setidaknya udara siang ini tidak menghindar
mengantarkan sebuah mimpi untuk sejenak merayunya bernapas lega, meski hanya
melalui ilusi.
Mimpi
berkehendak, ilusi bukan hanya dalam mimpi anggap Seruni kini. Dulu pertama
kali Seruni jatuh cinta pada Akhirul suaminya yang akhirnya hubungan
persenggamaan mereka dilegalkan oleh institusi agama, sekarang bagi Seruni
semua itu hanyalah ilusi, tak beda dengan mimpi.
Umur Seruni
empat puluh dua tahun, dua tahun lebih muda dari Akhirul. Mereka memiliki tiga
anak, yang paling besar umur 18 tahun, diikuti dengan jarak dua tahun lebih
muda oleh adik-adiknya.
Rumah Seruni
yang lumayan besar masih sepi. Rumah ini bukan tampak milik orang biasa-biasa
saja. Jelas terlihat sebuah hasil dari kucuran keringat untuk membangunnya. Yah
rumah yang berhasil dibangun berdua oleh Seruni dan Akhirul sejak pertama kali
Seruni jatuh cinta. Tapi siang tak juga membuat penghuni rumah mengembang,
hanyalah Seruni sendiri. Suaminya masih sibuk beraktifitas di hotel dengan
order check in short time, anak-anaknya masih sibuk sekolah dan bertandang
entah kemana setelahnya.
Wajah Seruni
tertiup angin, meski tertidur di kursi goyang dengan bekas kaleng bir yang
kosong dan beberapa puntung rokok yang hampir memenuhi asbak di meja
sebelahnya. Wajah itu tersenyum lembut, tak jua terlihat beban apapun. Bukan
karena Seruni sedang dibelai ilusi, karena ilusi baginya tak hanya dalam mimpi
tapi juga dalam dunia nyata ini.
Anaknya satu persatu
pulang, ingin menyapa Ibu Seruni namun karena sang ibu tak jua bergetar
mendengar pintu gerbang yang terbuka, anak-anak itu tak berani membangunkannya.
Kini Akhirul datang, Seruni membuka mata bukan karena suaminya, namun ilusi
mimpi itu telah pergi. Seruni bangun dan berganti menghadapi ilusi dunia nyata
ini. Ia pindah ke kamarnya lalu bertemu suaminya. Seruni menyapa dan angkat
bicara.
“Bagaimana ??” .
“Menurutmu
bagaimana?” .
“Menurutmu
apakah ada sebuah beban psikologis?”
“Apakah kamu
merasa selama ini ada yang disembunyikan?”
“Tidak.”Jawab
seruni.
“Dan jawabanku
juga tidak, tidak ada beban psikologis dari kamu”.
“Berarti hanya
sebuah teori saja”.
“Tepatnya
seperti itu”.
“Frigid hanya
sebuah teori saja”.
“Lalu, apakah
kamu akan marah dengan solusiku”.
“Tidak,
perasaanku juga telah frigid. Kamu tanggungjawabku, rumah ini dan juga
anak-anak”.
“Aku juga masih
dalam tanggungjawabku”.
“Karena kita
hidup, inilah hidup kita”.
Seruni mengalami
frigiditas, ia sama sekali tak mempunyai hasrat berhubungan seksual. Seruni
bukan menolak ketika suaminya ingin menikmati kelaminnya. Tapi karena kelamin Seruni
enggan berfungsi untuk suaminya. Teorinya adalah ada sebuah beban psikologis
terpendam bagi perempuan yang mengalami frigiditas. Seruni dan Akhirul menerka
apakah beban itu. Selama mereka menjadi partner lebih dari 19 tahun Seruni
merasa bahagia, segala kebutuhan terpenuhi, mereka tak pernah bertengkar. Tapi
di tahun keduapuluh pernikahan mereka ini, tiba-tiba saja seruni mengaku
frigid, ini bukanlah sebuah kebosanan hubungan seksual mereka, tapi karena
sudah waktunya terka Seruni. Lalu suaminya mencari solusi sendiri pun juga
dengan Seruni. Rumah adalah waktu untuk keluarga dan dunia luaran sana adalah
waktu pribadi mereka.
Sang suami
memiliki affair dengan perempuan muda berjarak 16 tahun di bawahnya. Seruni
tahu, bukannya ia tak mau tahu, tapi dunia nyata sama seperti mimpi, hanyalah
ilusi, dan itu yang berhubungan dengan segala rasa. Yang benar-benar nyata
hanyalah tanggungjawab. Selamatlah pernikahan mereka. Seruni bertanggungjawab
sebagai ibu, Akhirul bertanggungjawab sebagai bapak.
Seruni dan Akhirul
masih berada di kamar, ruangan yang rapi dan wangi melati, bau itu masih seperti
ruangan yang bernuansa sama setelah mereka melakukan pemberkatan pernikahan di
Gereja Pantecosta.
Wajah Seruni
segar tapi tidak dengan kelaminnya, mati dan tak berfungsi. Akhirul angkat
bicara.
“Apa yang
terjadi jika ini sepuluh atau lima belas tahun yang lalu?”.
“Habislah
pernikahan kita”.
“Karena kita
masih muda, emosi pasti bergejolak dan egoisme pasti masih sangat tinggi”.
Tambah seruni.
“Mungkin kita
akan merasa mampu untuk hidup sendiri-sendiri barang kali”.
“Dan mungkin
sekat antara nyata ndan ilusi itu masih absurd”. Tegas seruni.
“Antara rasa dan
tanggungjawab”.
“Tepatnya”.
“Aku akan
mengatakan sebuah ilusi”.
“Apa???”.
“Aku
mencintaimu”.
“Jawabanku juga
sebuah ilusi, aku mencintaimu”.
‘Baiklah, mari
kita melakukan tanggungjawab utama yang nyata untuk diri”. Ajak Seruni kepada
suaminya.
Lalu mereka
beranjak, Seruni melepas bajunya, Akhirul juga melepas sepatunya lalu dasi dan
kemeja kerjanya. Tas kantor Akhirul yang berisi berkas-berkas dan komputer
personal yang ditaruhnya di atas kasur dipindahkan oleh Seruni ke meja di dekat
televisi layar datar yang tertepel di tembok. Bayangan Akhirul dari layar
televisi tampak seperti siluet tipis, Akhirul duduk di tepi ranjang. Seruni
masih berdiri setelah meletakkan tas suaminya, kemudian Seruni membuka pintu
lemari, separuh layar televisi tertutup pintu lemari. Kini hanyalah Akhirul
yang tampak masih duduk, setelahnya berdiri menuju balik pintu lemari tempat Seruni
berada. Seruni mengambil baju dan memberikannya kepada akhirul. Seruni telah
mengganti bajunya, tinggallah Akhirul.
“Aku tunggu kamu
di meja makan!” bisik seruni.
“Taruh bekas
keringat perempuan itu yang menempel di bajumu, taruh di keranjang”. Tambah
seruni sembari berbisik.
Lalu Seruni
keluar kamar menyiapkan makan siang bersama suami dan anak-anaknya. Siang itu,
sebuah keluarga tampak harmonis melakukan aktifitas nyata di meja makan,
aktifitas tanggungjawab untuk masing-masing diri dan keluarga. Tampak harmonis
setelah membicarakan rasa yang menurut mereka adalah ilusi.
Anak-anak mereka
makan dengan lahapnya, makanan yang tersaji memang bermutu. Tampak kerja keras
Seruni dan Akhirul berhasil secara nyata di meja makan itu. Sembari makan, Seruni
menanyakan aktifitas anak-anaknya di sekolah. Seruni berperan nyata sebagai
ibu, pun demikian dengan Akhirul. Mereka adalah orangtua yang dewasa. Mengatur
rumah tangga mereka dengan kenyamanan dunia nyata.
Seruni dan
Akhirul sama-sama jujur, sama sekali tidak ada yang disembunyikan. Katanya
berlaku tidak jujur hanyalah menyembunyikan sesuatu yang dianggap sebagai
masalah. Mereka mengaku telah dewasa, masalah-masalah itu menumpuk, namun tak
dianggapnya sampah, harus diselesaikan dengan awal pengakuan jujur. Dan mereka
tahu itulah hidup. Rasa sakit hanyalah ilusi untuk anak muda karena Seruni dan
Akhirul telah mengaku sama-sama dewasa.
Ide tergerak
dari sebuah curhatan ide Wahyu Utami Wati (seorang sahabat), yang akunya
kesulitan mengembangkan saat ingin membuat film bercerita tentang formalitas
pernikahan.
Amartanie
Oktaviana
Jakarta, 3 Juli
2012
20:07 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar